Santai

Begini Dampak Perubahan Iklim Bagi Perempuan dan Anak di Wilayah Pesisir

Begini Dampak Perubahan Iklim Bagi Perempuan dan Anak di Wilayah Pesisir
Reporter: Lidya Yuniartha  |  Editor: Lidya Yuniartha


MOMSMONEY.ID - Perubahan iklim yang terjadi rupanya turut berdampak bagi perempuan dan anak, apalagi mereka yang tinggal di daerah-daerah pesisir. Hal ini terlihat dari hasil penetilian kolaborasi antara Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Griffith University, dan Univesitas Diponegoro.

Penelitian tersebut menjajaki hukum, kebijakan dan respon dunia usaha di Indonesia terhadap kerja paksa dan dampaknya terhadap perempuan dan anak-anak yang rentan, terutama yang terkena dampak perubahan iklim.

Penelitian BRIN), Griffith University, dan Univesitas Diponegoro ini dilakukan di wilayah pesisir utara Jawa, khususnya di Jakarta, Pekalongan, Semarang dan Demak.

Peneliti Pusat Riset Hukum BRIN Laely Nurhidayah mengatakan, penelitian ini fokus pada kelompok rentan seperti perempuan karena perempuan memiliki beban ganda, yang mana mereka harus merawat anak dan keluarga, tapi di satu sisi mereka pun harus bekerja untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

Anak turut terdampak perubahan iklim lantaran mereka kerap tidak bersekolah, menghadapi persoalan dengan kesehatan seperti  mengalami stunting atau tumbuh tidak sesuai umurnya, bahkan kerap mendapatkan kekerasan.

“Jadi memang kehidupan di pesisir itu sangat kompleks,” ujar Laely dalam diskusi yang digelar KONEKSI di Jakarta, Selasa (28/10).

Baca Juga: Masyarakat Sipil Dorong Keterwakilan Perempuan di Dewan Energi Nasional

Penelitian yang melibatkan 400 partisipan perempuan dan anak-anak ini menggunakan metode penelitian campuran dan partisipatif melalui survei, wawancara dan diskusi kelompok. Hasil dari penelitian ini menunjukkan, perubahan iklim berdampak pada keuangan rumahtangga.

“Jadi sekitar 80% perempuan melaporkan bahwa pendapatan mereka terdampak dari perubahan iklim,” terang Laely.

Lantaran perubahan iklim tersebut, mereka kehilangan mata pencaharian. Menurut Laely, ada beberapa masyarakat di wailayah tertentu yang sebelumnya merupakan petani terpaksa bekerja serabutan di wilayah tertentu lantaran kehilangan lahan. Ini akibat perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut.

Sebanyak 75% perempuan melaporkan, mereka yang rumahnya rusak akibat bencana, harus mengeluarkan biaya untuk pembangunan ulang atau perbaikan. Kenaikan biaya ini mendorong rumah tangga semakin miskin.

Lalu, 88% anak-anak pernah mengalami banjir di rumah mereka, dengan sebagian menyebutkan hal itu terjadi setiap hari. Mereka pun melaporkan bahwa sekolah dan jalan bisa ditutup akibat banjir, sehingga mengganggu pendidikan mereka.

Lebih lanjut, penelitian ini juga menunjukkan, bukan hanya dampak dari perubahan iklim, perempuan dan anak-anak di wilayah pesisir pun  mengalami peningkatan pernikahan anak, anak yang terpaksa bekerja dan kekerasan dalam keluarga.

Baca Juga: Kampanye Percaya This Is Your Ajak Perempuan Yakin pada Diri Sendiri

Perempuan juga menggunakan pemasukan mereka untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dan seringnya  gaji mereka di bawah batas gaji minimum, di bawah tekanan dan  tidak memenuhi standar kesehatan yang layak.

Perempuan yang pendapatannya rendah pun cenderung mengalami kondisi kerja yang buruk, lebih sering terlibat dalam pekerjaan berisiko tinggi, dan pekerja di industri rumahan hampir tidak memiliki perlindungan bagi kesehatan dan keselamatan kerja, maupun hak-hak ketenagakerjaan.

Adapun, penelitian ini juga menunjukkan ada berbagai tantangan terkait aturan yang berlaku saat ini. Misalnya, Undang-Undangan Penanggulangan Bencana Nomor 24 tahun 2007 belum mengkategorikan kenaikan permukaan air laut dan penurunan muka tanah sebagai bentuk bencana.

“Karena itu bukan bencana, itu adalah kejadian sehari-hari yang tidak memerlukan bantuan. Jadi mereka akan membantu kalau itu peristiwa besar,” kata Laely.

Menurutnya, karena ini adalah bencana yang sangat lambat dan terjadi selama bertahun-tahun, sehingga ini tidak menjadi prioritas bagi pemerintah.

Bencana yang terjadi secara perlahan (slow onset disaster) seperti kenaikan permukaan air laut juga tidak menjadi prioritas bagi pemerintah daerah. Dia memperkirakan karena anggaran pemerintah daerah yang kecil, membuat pembangunan infrastruktur berasal dari pusat.

Baca Juga: Perempuan di Garis Depan Transformasi Digital UMKM Indonesia

Bahkan, fokus pada pembangunan infrastruktur, dan tidak terlalu mengarah pada isu keadilan sosial dan solusi lain yang berhubungan dengan lingkungan.

Tidak ada juga kebijakan relokasi yang menampung masyarakat yang terpaksa harus pindah karena kenaikan permukaan laut.

Tidak ada rencana pembangunan terpadu untuk menghadapi dampak kenaikan permukaan laut, belum ada skala prioritas dalam penanganan wilayah pesisir yang paling rentan dan terdampak kenaikan permukaan laut dan masih ada kesenjangan kebijakan terkait jaminan sosial yang adptif yang dapat menaggulangi dampak perubahan iklim.

Dari hasil yang didapatkan, penelitian ini merekomendasikan beberapa hal seperti memasukkan kenaikan permukaan air laut dan penurunan tanah sebagai kategori bencana dalam Undang-Undang Penanggulangan Bencana, mencantumkannya dalam rencana darurat.

Melakukan sinergi antar pelaku kepentingan untuk mengatasi masalah ini, menyiapkan regulasi untuk mengatasi akses keamanan sosial khususnya bagi perempuan yang bekerja di sektor informal, meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum dalam lingkungan kerja dan sektor bisnis yang melanggar hukum ketenagakerjaan, fokus yang lebih besar bagi pembangunan sosial dan lainnya.

Selanjutnya: SKIN1004 Gandeng Natasha Wilona Sebagai Brand Ambassador Pertama di Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News