MOMSMONEY.ID - Sebenarnya, apa yang terjadi pada tubuh saat stres berlebihan, ya? Cari tahu di sini, yuk!
Stres adalah bagian dari kehidupan yang hampir tidak bisa dihindari. Namun, ketika stres berlangsung terlalu lama dan tidak terkendali, tubuh akan merespons dengan cara yang bisa mengganggu kesehatan, baik fisik maupun mental.
Memahami bagaimana tubuh bereaksi terhadap stres berlebihan bisa membantu Anda lebih waspada sekaligus mencari cara untuk mengatasinya. Lantas, apa yang terjadi pada tubuh saat stres berlebihan?
Baca Juga: Bisa Usir Stres, Ini 10 Manfaat Hubungan Seks dengan Pasangan untuk Kesehatan
Melansir laman American Psychological Association (APA), berikut beberapa yang akan terjadi pada tubuh saat stres berlebihan:
1. Otot menjadi tegang
Saat stres, otot otomatis menegang sebagai refleks alami tubuh untuk melindungi diri dari cedera dan rasa sakit. Jika stresnya sebentar, otot akan kembali rileks setelah situasi terlewati.
Namun, ketika stres berlangsung lama, otot bisa terus berada dalam kondisi tegang. Ini bisa menimbulkan masalah lain, seperti sakit kepala tegang, migrain, atau nyeri di punggung bawah dan bahu.
Banyak orang akhirnya mengalami nyeri kronis akibat otot yang kaku terlalu lama. Kondisi ini juga bisa makin parah kalau orang menjadi takut bergerak karena khawatir sakit. Justru dengan aktivitas fisik ringan yang diawasi dokter, pemulihan akan lebih baik dibanding hanya berdiam diri.
Latihan relaksasi dan aktivitas pengelola stres terbukti efektif meredakan ketegangan otot serta memperbaiki suasana hati.
2. Sesak napas
Stres bisa memicu gejala seperti napas terasa sesak atau jadi lebih cepat. Pada orang sehat, hal ini biasanya bisa diatasi tubuh. Namun, bagi penderita penyakit pernapasan seperti asma atau PPOK, stres bisa memperparah gejala. Bahkan, stres akut seperti kehilangan orang terdekat dapat memicu serangan asma.
Selain itu, hiperventilasi akibat stres dapat memunculkan serangan panik pada orang yang rentan. Latihan pernapasan, relaksasi, dan terapi psikologis dapat membantu mengendalikan hal ini.
3. Tekanan darah naik
Jantung dan pembuluh darah sangat terpengaruh oleh stres. Saat mengalami stres singkat, detak jantung meningkat, kontraksi otot jantung lebih kuat, dan tekanan darah naik karena hormon stres seperti adrenalin dan kortisol. Ini adalah bagian dari respons “fight or flight”. Setelah situasi berakhir, tubuh biasanya kembali normal.
Namun, jika stres terjadi terus-menerus, lonjakan tekanan darah dan hormon stres bisa merusak pembuluh darah, meningkatkan risiko hipertensi, serangan jantung, dan stroke. Stres kronis juga dapat memicu peradangan di arteri koroner, yang berhubungan dengan penyakit jantung.
Penelitian menemukan wanita pra-menopause lebih terlindungi dari risiko ini karena hormon estrogen, sedangkan setelah menopause, perlindungan tersebut hilang sehingga risikonya meningkat.
Baca Juga: Sedang Stres? Mari Coba Forest Bathing Metode Healing ke Alam Ala Jepang
4. Hypothalamic-pituitary-adrenal axis
Saat menghadapi situasi penuh tekanan, otak mengaktifkan jalur yang disebut hypothalamic-pituitary-adrenal axis (HPA axis). Proses ini mendorong kelenjar adrenal memproduksi kortisol atau hormon stres. Kortisol membantu menyediakan energi dengan melepaskan glukosa dan asam lemak ke aliran darah.
Jika stres hanya sesaat, peningkatan kortisol membantu tubuh tetap siaga. Tapi pada stres berkepanjangan, komunikasi antara sistem imun dan HPA axis jadi terganggu. Akibatnya, tubuh lebih rentan mengalami masalah seperti kelelahan kronis, diabetes, obesitas, depresi, dan gangguan autoimun.
5. Kesehatan usus terganggu
Stres juga erat kaitannya dengan kesehatan pencernaan karena adanya komunikasi dua arah antara otak dan usus. Tidak heran kalau saat cemas, perut terasa mulas atau ada sensasi “butterflies in the stomach”.
Stres bisa mengubah komposisi bakteri usus, memperburuk gejala sindrom iritasi usus, atau menyebabkan perut kembung, mual, hingga diare atau konstipasi.
Pada lambung, stres tidak secara langsung menyebabkan tukak (ulkus), tetapi bisa memperburuk rasa nyeri atau heartburn. Sementara di usus, stres bisa melemahkan dinding pelindung sehingga bakteri lebih mudah masuk ke tubuh, memicu peradangan ringan yang berkepanjangan.
6. Sistem saraf aktif terus-menerus
Sistem saraf otonom berperan besar dalam reaksi tubuh terhadap stres. Saat stres, bagian sympathetic nervous system (SNS) diaktifkan sehingga tubuh bersiap menghadapi bahaya dengan mempercepat detak jantung, pernapasan, meningkatkan gula darah, dan mengalihkan energi dari pencernaan.
Setelah kondisi darurat selesai, parasympathetic nervous system (PNS) membantu tubuh kembali tenang. Masalah muncul ketika stres berlangsung lama. Aktivasi sistem saraf yang terus-menerus membuat tubuh kelelahan dan akhirnya merusak organ lain.
Baca Juga: 4 Manfaat Journaling untuk Kesehatan Mental, Bisa Redakan Anxiety dan Stres
7. Kesehatan reproduksi pria terganggu
Stres kronis meningkatkan kadar kortisol, yang bisa menurunkan produksi testosteron. Akibatnya, gairah seksual menurun, bahkan bisa menyebabkan disfungsi ereksi.
Stres juga berdampak pada kualitas sperma, baik dari segi jumlah, pergerakan, maupun bentuknya, sehingga menyulitkan pasangan yang sedang berusaha memiliki anak.
Selain itu, karena sistem imun terganggu, pria juga lebih rentan terhadap infeksi pada testis, prostat, atau saluran kemih.
8. Kesehatan reproduksi wanita terganggu
Pada wanita, stres bisa menyebabkan siklus menstruasi menjadi tidak teratur, lebih nyeri, atau durasinya berubah. Stres juga menurunkan gairah seksual, terutama ketika disertai kelelahan, masalah keluarga, atau tekanan pekerjaan.
Pada masa kehamilan, stres berlebihan bisa mengganggu kesehatan ibu dan janin, bahkan meningkatkan risiko depresi pasca-melahirkan. Sementara pada fase pra-menstruasi, stres dapat memperparah gejala PMS seperti kram, kembung, dan perubahan suasana hati.
Saat menopause, perubahan hormon ditambah stres dapat memperburuk gejala seperti hot flashes dan gangguan mood. Bahkan, stres tinggi juga bisa memperparah kondisi reproduksi tertentu, misalnya sindrom ovarium polikistik atau kanker organ reproduksi.
Selanjutnya: Mengenal Job Hugging yang Marak Terjadi karena Ketidakpastian Ekonomi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News