Santai

Musim Kemarau, 53% Wilayah Indonesia Masih Alami Cuaca Hujan di Atas Normal

Musim Kemarau, 53% Wilayah Indonesia Masih Alami Cuaca Hujan di Atas Normal

MOMSMONEY.ID - BMKG mengungkapkan, memasuki bulan Juli, cuaca hujan dengan kategori di atas normal tercatat di sekitar 53% wilayah Indonesia

Hingga akhir Juni 2025, BMKG mencatat, baru sekitar 30% zona musim di Indonesia yang memasuki periode musim kemarau. 

Angka ini masih jauh di bawah kondisi klimatologis normal, di mana pada akhir Juni biasanya lebih dari 60% wilayah telah mengalami musim kemarau. 

Pemicu kondisi ini adalah anomali curah hujan yang berada di atas normal sejak awal Mei dan terus berlanjut hingga saat ini. 

Data BMKG menunjukkan, hujan kategori di atas normal tercatat di sekitar 53% wilayah Indonesia, terutama di Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, sebagian Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.

"Cuaca ekstrem juga masih berlangsung hingga awal Juli, seperti yang tercatat pada 2 Juli 2025, ketika Stasiun Geofisika Deli Serdang mencatat curah hujan ekstrem 142 mm, dan Stasiun Meteorologi Rendani Papua Barat 103 mm," ungkap Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam siaran pers, dikutip Minggu (6/7).

Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto menyampaikan, dinamika atmosfer yang memicu cuaca ekstrem saat ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor global dan regional. 

Baca Juga: BMKG: Terjadi Pergeseran Awal Musim Kemarau yang Lebih Lambat, hingga 50 Hari

Meskipun fenomena Madden-Julian Oscillation (MJO) berada di fase kurang aktif, kondisi atmosfer masih sangat labil akibat lemahnya Monsun Australia dan aktifnya gelombang ekuator seperti Rossby dan Kelvin.

"Hal ini menyebabkan udara di wilayah selatan Indonesia tetap lembap dan mendukung pembentukan awan hujan, bahkan di wilayah-wilayah yang secara klimatologis seharusnya sudah memasuki musim kemarau," jelas Guswanto.

Menurut Guswanto, kondisi laut juga turut memperparah potensi cuaca ekstrem. Bibit siklon tropis 98W yang terpantau di sekitar Luzon memang tidak berdampak langsung ke Indonesia, namun menyebabkan peningkatan kecepatan angin di Laut Cina Selatan. 

Sementara sirkulasi siklonik di Samudra Hindia barat Sumatera dan Samudera Pasifik utara Papua Nugini menciptakan zona konvergensi dan konfluensi di beberapa perairan Indonesia, seperti Laut Jawa, Laut Flores, dan wilayah Maluku bagian utara.

"Fenomena ini meningkatkan risiko gelombang tinggi dan hujan lebat di perairan terbuka. Kondisi ini perlu menjadi perhatian serius bagi sektor pelayaran dan nelayan," tegasnya.

Direktur Meteorologi Publik BMKG Andri Ramdhani menambahkan, prakiraan cuaca mingguan periode 4–10 Juli 2025 menunjukkan potensi hujan lebat masih tinggi di berbagai wilayah. 

"Pada 7–10 Juli, potensi hujan sangat lebat bahkan diperkirakan di Papua Pegunungan, sementara wilayah Maluku masih masuk kategori siaga. Masyarakat harus tetap waspada, terutama terhadap banjir bandang, longsor, dan gangguan aktivitas harian," ujar Andri.

Baca Juga: BMKG: Fenomena Cuaca Ekstrem di Indonesia sejak Awal Tahun Capai 1.891 Kejadian

Menyikapi kondisi tersebut, Dwikorita mengimbau seluruh operator transportasi darat, laut, dan udara untuk secara aktif memantau dan mematuhi informasi cuaca dan peringatan dini yang dikeluarkan BMKG. 

Dia menekankan, kepatuhan terhadap informasi meteorologi harus menjadi bagian dari prosedur standar operasional transportasi, demi keselamatan jiwa dan kenyamanan masyarakat luas.

"Keselamatan harus menjadi prioritas. Pengambilan keputusan dalam operasional transportasi harus mengacu pada data meteorologi yang kami sampaikan secara resmi dan berkala," tegas Dwikorita.

Dwikorita juga mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk tidak mengabaikan informasi cuaca, terutama ketika merencanakan perjalanan selama masa liburan sekolah. 

Selain itu, pemangku kepentingan di sektor pemerintahan, kebencanaan, pertanian, logistik, hingga pariwisata diimbau untuk menggunakan data cuaca sebagai dasar perencanaan kegiatan.

"Cuaca saat ini tidak bisa diprediksi hanya dengan kebiasaan atau intuisi. Kita semua perlu berbasis data dan bersiap menghadapi dinamika iklim yang terus berubah," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News