Bugar

Ini Dampak Sering Curhat ke AI Kata Psikolog, Jangan Dibiasakan!

Ini Dampak Sering Curhat ke AI Kata Psikolog, Jangan Dibiasakan!

MOMSMONEY.ID - Sering dilakukan di masa kini. Ketahui dampak sering curhat ke AI kata psikolog berikut ini, yuk!

Di era teknologi seperti sekarang, banyak orang mulai terbiasa menceritakan masalah pribadi atau curhat kepada chatbot berbasis kecerdasan buatan (AI), seperti ChatGPT.

Tapi, tahukah kamu bahwa kebiasaan ini ternyata bisa berdampak negatif bagi kesehatan mental? Simak penjelasan lengkap dari para psikolog berikut ini.

Curhat ke AI, boleh tapi tetap waspada

Prilya Shanty Andrianie, S.Psi., M.Psi., Psikolog, dosen Psikologi di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), menjelaskan, perkembangan teknologi seperti AI merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari atau dicegah.

Yang bisa dilakukan adalah menyesuaikan diri dan belajar hidup berdampingan dengannya. “AI ini tidak bisa kita hentikan. Maka yang bisa kita lakukan adalah menyesuaikan diri,” ungkapnya yang dilansir dari laman News UMS.

Menurut Prilya, tidak masalah jika seseorang memilih untuk berbagi cerita atau curhat ke chatbot AI seperti ChatGPT. Namun ia mengingatkan, AI hanyalah sistem yang memberikan jawaban berdasarkan pola, tanpa mempertimbangkan kondisi pribadi pengguna.

Baca Juga: Nextsense dari Sinergi Teknologi, Solusi Digital Berbasis AI Karya Anak Bangsa

Risiko jawaban yang menyesatkan

“AI tidak mempertimbangkan aspek kepribadian, pola asuh, sosial ekonomi, maupun kondisi keluarga dari orang yang curhat. Sementara psikolog atau psikiater memberikan solusi yang holistik sesuai dengan kondisi klien,” jelasnya.

Ia mencontohkan, saat seseorang yang menghadapi masalah perselingkuhan bertanya kepada AI, mungkin hanya akan mendapatkan saran standar seperti "putus" atau "berpisah".

Padahal, situasi seperti itu sering kali melibatkan banyak faktor lain, seperti aspek finansial, anak, dan dinamika dalam keluarga yang tidak bisa disederhanakan.

Prilya menambahkan, meskipun jawaban dari AI biasanya cepat, namun bisa saja solusi yang diberikan tidak sesuai dengan situasi pribadi pengguna dan justru menyesatkan.

Bahaya ketergantungan pada AI

Selain itu, berinteraksi dengan AI juga menghilangkan unsur penting dalam hubungan antar manusia, yaitu empati dan komunikasi dua arah yang hanya bisa hadir dalam percakapan dengan sesama manusia.

“Interaksi manusia dengan psikolog itu penting karena kita butuh didengar dengan empati. Bukan sekadar solusi cepat,” tuturnya.

Ia juga mengingatkan adanya dampak negatif dari penggunaan AI atau internet yang berlebihan, salah satunya adalah kecanduan digital.

Kondisi ini bisa memicu gangguan psikologis seperti ketergantungan terhadap internet dan kesulitan dalam bersosialisasi, berkomunikasi, hingga menurunnya kemampuan berpikir kritis.

“Kalau semua hal kita tanya ke internet, lama-lama kita kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis. Ini yang berbahaya,” ujarnya.

Menanggapi tren konten psikologi yang marak di media sosial, Prilya menyatakan bahwa meskipun konten semacam itu bisa bermanfaat untuk edukasi masyarakat, tetap dibutuhkan sikap kritis.

Banyak orang cenderung mencocokkan gejala dari konten yang mereka lihat dengan kondisi dirinya sendiri, yang bisa menyebabkan salah paham, overthinking, bahkan salah diagnosa.

“Kalau merasa terganggu dengan apa yang dibaca di media sosial, lebih baik konsultasi ke profesional agar mendapatkan penelusuran yang menyeluruh,” pesannya.

Lakukan detoks digital secara berkala

Sebagai langkah preventif, Prilya menyarankan agar masyarakat melakukan detoks digital secara berkala, seperti membatasi waktu menggunakan gadget dan menggantinya dengan kegiatan sosial secara langsung.

“Saya sendiri kalau di rumah sudah detox HP. Saya ganti dengan berkumpul dan melakukan aktivitas bersama dengan anak dan suami,” ujarnya mencontohkan.

Ia juga mengajak generasi muda untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan digital dan sosial. “Kita bisa mulai dari hal sederhana, misalnya setelah seharian main HP, coba quality time tanpa HP dan lakukan aktivitas bersama keluarga atau teman,” tambahnya.

Sebagai penutup, Prilya berpesan bahwa generasi muda perlu mempersiapkan diri agar mampu bersaing di era teknologi.

“Ada tiga kecerdasan yang tidak bisa dimiliki AI yaitu kecerdasan emosional, spiritual, dan adversitas yaitu kemampuan untuk bangkit kembali ketika gagal dan terpuruk. Ini harus dimiliki anak muda agar tetap eksis di tengah perkembangan teknologi,” tegasnya.

Baca Juga: Pemanfaatan Teknologi AI dalam Bisnis Kuliner Bukan Lagi Pilihan tapi Keniscayaan

Masalah serius jika chatbot mengaku sebagai terapis

Pada Februari lalu, Asosiasi Psikologi Amerika (APA) bertemu dengan pihak regulator pemerintah untuk menyuarakan kekhawatiran mereka soal chatbot AI yang mengaku sebagai terapis.

Menurut APA, hal ini bisa membahayakan masyarakat. Mereka meminta Komisi Perdagangan Federal (FTC) dan para pembuat kebijakan untuk menetapkan aturan perlindungan, karena makin banyak orang yang mengandalkan aplikasi seperti Character.AI dan Replika untuk mencari dukungan emosional.

Dilansir dari laman APA Services, ada dua kasus hukum yang muncul setelah remaja berinteraksi dengan chatbot yang mengklaim sebagai terapis profesional. Dalam satu kasus, seorang anak laki-laki menjadi agresif terhadap orang tuanya, sementara kasus lain berakhir tragis dengan bunuh diri.

Vaile Wright, PhD, direktur inovasi perawatan kesehatan di APA, menyatakan bahwa banyak orang berbicara dengan chatbot tentang masalah pribadi, termasuk perasaan sulit dan konflik dalam hubungan.

Meski hal ini tidak bisa dicegah, masyarakat perlu tahu risikonya, karena chatbot tersebut sebenarnya tidak dibuat untuk menangani masalah kesehatan mental.

Chatbot ini sering memberikan kesan seolah-olah pengguna sedang berbicara dengan seseorang yang peduli dan memahami, padahal mereka tidak memiliki pelatihan seperti terapis profesional. Mereka bahkan bisa terus menyetujui atau membenarkan pengguna, meskipun yang dikatakan berbahaya.

Terapis manusia memerlukan pendidikan dan pelatihan bertahun-tahun sebelum mendapatkan lisensi resmi dan dipercaya masyarakat.

Baca Juga: Intip Kecerdasan Buatan Terbaik di Indonesia yang Mewarnai Kompetisi AI Global

Perlunya perlindungan dan edukasi publik

Dalam pertemuan dengan FTC, CEO APA, Arthur C. Evans Jr., PhD, menekankan, chatbot yang berpura-pura menjadi terapis bisa menyesatkan. Wright menambahkan bahwa penggunaan istilah “terapis” harus dilindungi secara hukum agar publik tidak salah paham.

APA juga mendorong adanya kebijakan nasional, termasuk edukasi publik tentang batas kemampuan chatbot, kewajiban menyediakan fitur bantuan darurat, serta sanksi bagi perusahaan yang menyesatkan pengguna.

Evans menyoroti, tanpa pengawasan yang tepat, chatbot bisa menimbulkan risiko besar, mulai dari diagnosis keliru, saran perawatan yang salah, pelanggaran privasi, hingga potensi eksploitasi anak. Ini bisa berdampak buruk, baik dalam jangka pendek maupun panjang.

Chatbot hiburan yang tidak berbasis riset cenderung tidak aman jika digunakan oleh orang yang mengalami gangguan kesehatan mental.

Bahkan jika sudah diberi tahu bahwa mereka berbicara dengan AI, banyak pengguna tetap mempercayai chatbot karena cara komunikasinya terasa meyakinkan, kata Celeste Kidd, PhD, dari University of California, Berkeley.

Baca Juga: Cara Mengenali Gambar Buatan AI yang Membanjiri Internet di Tahun 2025

Chatbot AI tidak bisa menunjukkan keraguan atau ketidakpastian seperti yang bisa dilakukan manusia, dan hal ini bisa membingungkan jika digunakan dalam konteks terapi.

Terapis sungguhan dilatih untuk melihat masalah dari berbagai sudut pandang dan tidak buru-buru menarik kesimpulan.

Mereka tahu kapan harus menggali lebih dalam dengan bertanya, kapan perlu mengoreksi pemikiran yang keliru, dan bagaimana menyampaikan ketidakpastian dengan cara yang bijaksana—kemampuan penting yang tidak dimiliki oleh chatbot.

Penggunaan istilah “terapis” membawa beban tanggung jawab dan kepercayaan. Jika aplikasi hiburan menyalahgunakan istilah tersebut, bisa berakibat fatal.

Anak-anak dan remaja sangat rentan karena mereka belum mampu menilai risiko dengan baik, dan orang yang sedang kesulitan mental bisa tertipu oleh harapan palsu dari chatbot yang tampak meyakinkan, jelas Schueller.

APA berharap ke depannya teknologi AI bisa membantu mengatasi krisis kesehatan mental, tetapi itu hanya bisa tercapai jika dikembangkan berdasarkan ilmu psikologi, diawasi pakar, dan melalui proses pengujian ketat. Oleh karena itu, langkah perlindungan harus dimulai dari sekarang.

Demikianlah pembahasan tentang dampak sering curhat ke AI kata psikolog. Semoga membantu.

Baca Juga: Daftar Pekerjaan yang Terancam Hilang dengan Kehadiran Kecerdasan Buatan di 2025

Selanjutnya: Prabowo Terima 3 Nama Calon Ketua LPS dari Pansel, Purbaya Masuk Bursa Lagi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News