Pendidikan

AI di Industri Kreatif: Peluang, Tantangan, dan Suara Para Seniman Dunia

AI di Industri Kreatif: Peluang, Tantangan, dan Suara Para Seniman Dunia

MOMSMONEY.ID - Di tengah perkembangan teknologi yang makin pesat, AI dan industri kreatif 2025 menjadi topik hangat yang menyita perhatian publik global. 

Melansir dari laman Webforum pada Minggu (13/7), para seniman dari musisi dan pelaku industri konten kini berada di persimpangan antara inovasi dan ancaman. 

Dari panggung Hollywood hingga dapur rekaman musisi dunia, kecerdasan buatan bukan lagi sekadar alat bantu, melainkan telah menjadi bagian dari proses kreatif itu sendiri.

Baca Juga: Apakah Jurusan Bahasa Terancam Tergusur AI atau Tidak? Ini Sederat Faktanya

Manusia dan AI di tengah industri kreatif 2025

Penggunaan AI generatif dalam industri kreatif 2025 telah mengubah cara kerja para kreator. Alat-alat seperti ChatGPT, Midjourney, dan DALL·E kini lazim digunakan oleh perusahaan media, seniman visual, hingga kreator konten digital.

Namun, pesatnya penggunaan AI juga menimbulkan kekhawatiran. Istilah FOBO (Fear of Becoming Obsolete), atau ketakutan menjadi usang karena tergeser teknologi, muncul dan menghantui lebih dari 20% pekerja kreatif di Amerika. 

Hal ini mendorong Forum Ekonomi Dunia dalam Pertemuan Davos 2024 untuk menegaskan pentingnya pendekatan etis dan kolaboratif dalam penerapan AI.

Kabar baiknya, menurut laporan resmi Forum, AI dan industri kreatif 2025 tak hanya akan menekan lapangan kerja, tetapi juga menciptakan jenis pekerjaan baru di sektor yang belum pernah ada sebelumnya. Teknologi ini bisa menjadi mitra, bukan musuh.

Krisis AI di Hollywood: Apa yang terjadi?

Gelombang besar dampak AI menyeret industri film ke dalam ketegangan serius. Pada pertengahan 2023, dua serikat pekerja utama di HollywoodvWriters Guild of America dan SAG-AFTRA menggelar aksi mogok serentak selama lebih dari tiga bulan.

Aksi ini muncul karena kekhawatiran bahwa teknologi AI digunakan untuk meniru suara dan wajah aktor tanpa izin. Film seperti Indiana Jones and the Dial of Destiny menunjukkan contoh nyata seperti wajah Harrison Ford yang diremajakan dengan teknologi AI.

Akibat mogok massal ini, Hollywood kehilangan lebih dari Rp105 triliun. Namun, ada pelajaran penting yang dibawa pulang seperti penerapan AI harus diputuskan bersama, bukan hanya oleh petinggi perusahaan, melainkan juga oleh pekerja kreatif yang terdampak langsung.

Duncan Crabtree-Ireland, kepala negosiator SAG-AFTRA, menyebut bahwa tanpa pendekatan yang berpusat pada manusia, industri kreatif bisa kehilangan "jiwa dan raganya" yang menjadi alasan keberadaannya.

Baca Juga: Kecerdasan Buatan AI Mengubah Kampus? Ini Dampaknya bagi Mahasiswa

Musik, AI, dan era baru ekspresi digital

Di lini musik, AI dan industri kreatif 2025 menciptakan dinamika baru. Beberapa musisi seperti Grimes sudah lebih dulu merangkul teknologi ini, bahkan menawarkan pembagian royalti untuk lagu yang menggunakan suara AI-nya.

Hal serupa juga terjadi pada The Beatles, yang di akhir 2023 merilis lagu berjudul Now and Then menggunakan rekaman suara mendiang John Lennon dari kaset demo, diproses melalui AI.

Di Davos 2024, produser legendaris Nile Rodgers menyatakan keterbukaannya terhadap AI, meski belum menggunakannya secara aktif. Ia menyebut teknologi sebagai alat yang “indah sekaligus berbahaya”, tergantung siapa yang menggunakannya.

Platform seperti YouTube pun ikut meluncurkan Musik AI Incubator, hasil kolaborasi dengan Google DeepMind, untuk memberi ruang bagi seniman bereksperimen menciptakan suara yang sebelumnya mustahil secara manual.

Kesetaraan akses dan regulasi AI yang manusiawi

Satu hal yang tak bisa diabaikan adalah soal ketimpangan akses. Hingga 2025, masih ada lebih dari 2,6 miliar orang di dunia yang belum terhubung internet, 90% di antaranya tidak memiliki perangkat yang mendukung teknologi AI.

Daren Tang, Direktur Jenderal WIPO, menegaskan, diskusi soal AI bukan hanya soal kreativitas dan ekonomi, tapi juga soal kesetaraan dan inklusivitas. Dunia tidak bisa melaju sendiri tanpa melibatkan seluruh lapisan masyarakat global.

Ia juga menyuarakan perlunya kolaborasi antara seniman, regulator, dan pemangku kepentingan untuk menyusun kerangka etika dan hukum AI dalam industri kreatif 2025, termasuk perlindungan hak cipta dan batasan penggunaan suara serta wajah manusia dalam karya digital.

Baca Juga: Tantangan dan Peluang AI dalam Otomatisasi di Dunia Kerja bagi Keluarga

Masa depan industri kreatif 2025 di tangan manusia

Melihat dinamika terbaru, AI dan industri kreatif 2025 bukan hanya soal efisiensi atau teknologi canggih. Ia adalah soal arah masa depan seni, budaya, dan identitas manusia. 

Moms yang memiliki anak atau keluarga yang berkecimpung dalam dunia seni, penting untuk memahami bahwa teknologi bukan untuk ditakuti, tapi dikuasai.

Dengan kolaborasi yang adil, regulasi yang bijak, dan pendekatan manusiawi, AI bisa menjadi alat bantu yang memperluas ruang ekspresi, bukan menggantikannya. 

Pada akhirnya, keunikan manusia ada emosi, empati, dan pengalaman hidup tetap menjadi unsur paling penting dalam setiap karya seni.

Selanjutnya: Harga Tembaga Kian Perkasa, Kinerja Emiten Semakin Berjaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News