Pendidikan

Penggunaan AI di Tempat Kerja Bisa Menurunkan Reputasi Profesional lo, Simak yuk

Penggunaan AI di Tempat Kerja Bisa Menurunkan Reputasi Profesional lo, Simak yuk

MOMSMONEY.ID - Simak penjelasan mengenai kecerdasan buatan atau AI yang bisa menurunkan reputasi saat Anda menggunakannya di tempat kerja.

Moms, penggunaan AI di tempat kerja kini menjadi tren besar, namun tahukah Anda bahwa di balik kemudahannya, terdapat risiko tersembunyi yang dapat menurunkan reputasi profesional seseorang? 

Di tahun 2025, berbagai riset menunjukkan bahwa meski AI menjanjikan efisiensi dan produktivitas, banyak pekerja  terutama perempuan dan mereka yang berusia lebih matang, justru enggan menggunakannya karena takut dianggap kurang kompeten. 

Artikel ini akan mengupas tuntas bagaimana penggunaan AI di tempat kerja bisa berdampak pada citra profesional dan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya, dikutip pada laman web HBR (3/8), berikut ini.

Rendahnya adopsi penggunaan AI di tempat kerja

Meski banyak perusahaan telah menyediakan alat bantu AI untuk memudahkan pekerjaan, faktanya hanya sebagian kecil karyawan yang benar-benar menggunakannya.

Dalam sebuah studi besar di tahun 2025 terhadap 28.698 insinyur, hanya 41% yang menggunakan alat AI, dan angkanya lebih rendah lagi untuk perempuan (31%) serta mereka yang berusia di atas 40 tahun (39%).

Alasan utamanya? Ketakutan akan penilaian negatif dari rekan kerja. Banyak yang khawatir penggunaan AI akan dianggap sebagai tanda kurangnya kemampuan, bukan sebagai bentuk efisiensi.

Baca Juga: Waspadai Anak yang Menggunakan Chatbot AI dan Teman Virtual di Era Digital

Penalti kompetensi dari penggunaan AI di tempat kerja

Penalti kompetensi adalah kondisi di mana seseorang dianggap kurang kompeten hanya karena menggunakan bantuan AI, meskipun hasil kerjanya sama baiknya.

Riset terbaru pada 1.026 insinyur menunjukkan bahwa ketika reviewer tahu suatu kode dibuat dengan bantuan AI, mereka menilai kemampuan penulisnya 9% lebih rendah, padahal kualitas kodenya sama.

Yang lebih mengejutkan, penalti ini dua kali lebih berat untuk perempuan (13%) dibandingkan laki-laki (6%). Insinyur laki-laki yang belum menggunakan AI justru jadi kelompok yang paling keras menilai kolega mereka, terutama perempuan.

Dampak penalti kompetensi terhadap produktivitas kerja

Ketika karyawan takut menggunakan AI karena khawatir reputasinya menurun, dampaknya lebih besar dari sekadar kehilangan efisiensi.

Dalam kasus perusahaan teknologi besar, rendahnya adopsi AI menyebabkan kerugian produktivitas yang setara dengan 2,5% hingga 14% dari laba tahunan. Jika dikonversi, kerugian itu bisa mencapai ratusan miliar rupiah.

Tak hanya itu, ketakutan akan penalti membuat sebagian pekerja diam-diam menggunakan AI dari luar sistem resmi perusahaan. Praktik seperti ini tidak hanya merusak konsistensi, tapi juga meningkatkan risiko keamanan data dan pelanggaran kebijakan.

Ketimpangan gender dalam penggunaan AI di tempat kerja

Alih-alih menciptakan kesetaraan, penggunaan AI justru memperbesar bias yang ada. Perempuan dan pekerja berusia matang lebih mungkin dihukum secara sosial saat menggunakan AI.

Dalam dunia kerja yang masih banyak didominasi laki-laki muda, penggunaan AI oleh kelompok minoritas sering kali dilihat sebagai bukti ketidakmampuan, bukan kecerdikan.

Fenomena ini disebut sebagai ancaman identitas sosial, di mana bantuan teknologi justru memperkuat stereotip negatif yang sudah ada terhadap kelompok tertentu.

Baca Juga: Penelitian dari Standford Sebut Bahaya Terapi Chatbot AI untuk Kesehatan Mental

Strategi mematahkan penalti kompetensi dalam lingkungan kerja

Agar penggunaan AI tidak menjadi bumerang, perusahaan perlu melakukan pendekatan sosial yang tepat. Tiga langkah berikut bisa membantu:

1. Petakan titik penalti kompetensi

Cari tahu tim mana yang paling rentan, misalnya tim dengan anggota perempuan atau pekerja senior yang lebih sedikit.

2. Libatkan pemimpin yang dihormati

Ketika pemimpin perempuan atau senior secara terbuka menggunakan AI, mereka bisa menjadi pelindung reputasi bagi kolega lainnya.

3. Redesain evaluasi kerja

Beralihlah dari menilai bagaimana pekerjaan dilakukan ke apa hasilnya. Hindari menandai pekerjaan yang menggunakan AI secara terbuka jika belum ada budaya organisasi yang mendukung.

Evaluasi ulang sistem kerja untuk mendukung penggunaan AI di tempat kerja

Untuk mengurangi prasangka, Moms bisa mendorong organisasi agar mengevaluasi ulang cara mereka menilai kinerja. Fokuslah pada hasil objektif, seperti kecepatan kerja, akurasi, atau dampak, bukan pada metode yang digunakan.

Beberapa perusahaan mulai menghapus penandaan “dibantu AI” dalam evaluasi kerja dan menggantinya dengan log internal untuk audit. Bahkan ada yang memberi insentif kepada karyawan yang berhasil menggunakan AI secara reflektif dan bertanggung jawab.

Baca Juga: Ini Dampak Sering Curhat ke AI Kata Psikolog, Jangan Dibiasakan!

Jalan terbaik menuju pemanfaatan AI yang adil dan aman

Penggunaan AI di tempat kerja seharusnya membuka peluang, bukan menciptakan hambatan baru. Namun tanpa pendekatan sosial yang tepat, AI justru bisa memperparah ketimpangan yang ada.

Kunci untuk menghindari penalti kompetensi bukanlah teknologi yang lebih canggih, tapi lingkungan kerja yang lebih suportif dan adil. Jika organisasi

Moms ingin sukses dalam transformasi digital, penting untuk membangun budaya kerja yang memungkinkan setiap orang merasa aman dan dihargai, terlepas dari apakah mereka menggunakan AI atau tidak.

Moms, penggunaan AI di tempat kerja bukan hanya soal efisiensi, tapi juga soal kepercayaan dan keadilan. Jika kita bisa memahami dan mematahkan penalti kompetensi ini, maka AI akan benar-benar menjadi alat yang mendukung semua orang tanpa memandang jenis kelamin, usia, atau posisi. 

Saatnya membangun tempat kerja yang bukan hanya cerdas secara teknologi, tapi juga bijak secara sosial.

Selanjutnya: Pasar Lesu, Transaksi di GIIAS Turun

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News