MOMSMONEY.ID - Kondisi perekonomian di dalam negeri belum cerah di periode kuartal III 2025 yang sudah hampir berakhir. Samuel Kesuma, Chief Investment Officer Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia memandang sinyal pemulihan belum ada pada kondisi ekonomi Indonesia saat ini.
Sebab, data indikator pertumbuhan ekonomi terkini belum menunjukkan sinyal pemulihan. Indeks keyakinan konsumen menunjukkan turunnya optimisme konsumen di semua segmen masyarakat ke level terendah sejak periode pandemi 2020-2021.
Demikian juga indikator lainnya seperti penjualan mobil, penjualan ritel, dan pertumbuhan kredit yang menggambarkan arus likuiditas ke perekonomian. Walaupun pertumbuhan ekonomi 2Q-2025 lebih kuat dari ekspektasi di 5.12%, median konsensus memandang outlook pertumbuhan ekonomi 2H-2025 tetap lemah di 4.8%.
Belum lagi, instabilitas yang terjadi akhir-akhir ini juga dapat semakin mengganggu aktivitas ekonomi.
"Namun sisi baiknya, pemerintah dan BI terlihat sangat menyadari potensi pelemahan yang terjadi, dan terlihat terus berupaya mengangkat kondisi ekonomi ke depan, walaupun efektivitasnya yang harus terus pelaku pasar pantau," kata Samuel dalam keterangan tertulis, Kamis (11/9).
Sikap bank sentral
Selama delapan bulan pertama 2025, BI cukup agresif melakukan pemangkasan suku bunga acuan sampai empat kali. Namun melihat kondisi ekonomi yang masih terus butuh topangan, BI mengindikasikan tetap memantau ruang penurunan suku bunga lebih lanjut, terutama setelah mempertimbangkan fakta bahwa saat ini suku bunga riil yang tinggi ±2.8%, menunjukkan kebijakan moneter masih restriktif.
Baca Juga: Ini Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi dari Bank Mandiri
Hal ini berdampak pada suku bunga kredit yang belum bisa turun lebih banyak dan mengalir pada perekonomian, tercermin dari lambatnya pertumbuhan kredit yang tahun ini diperkirakan hanya tumbuh ±8.75%, lebih rendah dibandingkan rata-rata 10-tahun pra pandemi di 15%.
Seperti Fed Fund Rate (FFR) yang masih mengarah turun sampai tahun depan, BI pun sama. Ekspektasi konsensus terminal rate BI Rate sampai akhir 2026 bervariasi di kisaran 4,00%-4,50%.
Di tengah kondisi ini kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia yang sangat pro pertumbuhan tentu diharapkan dapat menjadi katalis bagi ekonomi ke depannya. "Namun kita harus sadari juga, secara historis terdapat jeda antara penurunan suku bunga dan trickle down effect-nya terhadap ekonomi, tidak instan," kata Samuel.
Program prioritas pemerintah yang bersifat populis seperti misalnya MBG, 3 juta rumah, dan lain-lain sebenarnya juga berpotensi menjadi katalis bagi roda perekonomian, asal tepat sasaran, efisien, dan implementasinya berjalan baik.
Terlepas dari potensi-potensi yang kita harapkan tersebut, ada hal yang melegakan yang harus masyarakat jaga momentumnya:
- Realisasi investasi riil terus meningkat. Di 2Q-25 realisasi investasi mencapai IDR478 triliun (+12% YoY).
- Sovereign rating Indonesia dipertahankan di ‘BBB’ (atau setara) dengan outlook ‘stabil’ oleh berbagai lembaga pemeringkat internasional.
- CDS yang mengilustrasikan risk premium negara tetap stabil.
- Tingkat tarif perdagangan Indonesia tetap kompetitif (19%) untuk bersaing dengan negara Asia lain.
- Kesepakatan bilateral Indonesia – Uni Eropa (IEU CEPA) yang berpotensi meningkatkan pangsa ekspor ke Uni Eropa, menjadi kompensasi dari dampak tarif AS
Selanjutnya: Pembiayaan Modal Kerja BFI Finance Tumbuh 15,6% pada Semester I 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News