MOMSMONEY.ID - Kasus demam berdarah di Indonesia masih belum surut. Kementerian Kesehatan mencatat, sampai 13 April 2025, terdapat 38.740 kasus dengue di Indonesia (incidence rate/IR: 13,67/100.000 penduduk), yang tersebar di 447 kabupaten/kota di 34 provinsi.
Angka kematian akibat demam berdarah sebanyak 182 kasus (case fatality rate/CFR: 0,47%).
Penurunan tren ini tidak serta merta menjadi alasan untuk melonggarkan kewaspadaan. Sebagai negara hiper-endemik, Indonesia terus menghadapi risiko penularan dengue sepanjang tahun, yang dapat meningkat kapan saja jika langkah pencegahan tidak dilakukan secara konsisten.
Melalui kegiatan media briefing bertajuk “Waspada DBD: Lindungi Keluarga, Selamatkan Masa Depan”, PT Takeda Innovative Medicines bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan RI kembali mendorong pentingnya edukasi dan pencegahan terhadap dengue.
Acara yang berlangsung di Jakarta, Rabu (23/4), ini merupakan bagian dari kampanye berkelanjutan Cegah DBD yang telah berjalan sejak tahun 2023.
Dante Saksono Harbuwono, Wakil Menteri Kesehatan, dalam sambutannya menyampaikan, lebih dari setengah abad berlalu, DBD tetap menjadi masalah kesehatan yang serius.
Data Kementerian Kesehatan tahun 2024 menunjukkan, jumlah kasus dan kematian meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2023. Per April 2025, sudah tercatat lebih dari 38.000 kasus dan lebih dari 100 kematian akibat DBD.
Semua menyadari, DBD dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti perubahan iklim, kepadatan penduduk, dan mobilitas masyarakat. Artinya, siapa pun bisa berisiko terkena penyakit ini.
Baca Juga: Kenali, Ini Dia Ciri-ciri Demam Berdarah pada Bayi
"Oleh karena itu, pencegahan yang menyeluruh perlu menjadi perhatian bersama. Saya berharap, kampanye ini menjadi titik awal lahirnya gelombang kepedulian dan aksi nyata dari seluruh lapisan masyarakat, demi mendukung cita-cita besar kita bersama: Nol Kematian Akibat DBD pada Tahun 2030," katanya.
Menurut dr. Fadjar SM Silalahi, Ketua Tim Kerja Arbovirosis Kementerian Kesehatan, dengue adalah penyakit yang bisa mengancam nyawa, dan kita tidak bisa lagi menunggu sampai puncak kasus (wabah) untuk bertindak.
Banyak masyarakat yang masih salah menganggap bahwa dengue merupakan penyakit musiman. Padahal, faktanya tidak begitu. Penyakit dengue ada dan dapat menyebar sepanjang tahun, walaupun memang pada bulan-bulan tertentu kasusnya bisa melonjak secara signifikan.
Salah satu tantangan besar Kementerian Kesehatan adalah melawan persepsi tersebut. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan mendorong masyarakat untuk disiplin menerapkan 3M Plus dan mempertimbangkan penggunaan pencegahan yang inovatif.
dr. Dirga Sakti Rambe, M.Sc, Sp.PD, FRSPH, FINASIM, spesialis penyakit dalam, menjelaskan, dengue bukan sekadar demam yang bisa sembuh dengan sendirinya. Masyarakat sering kali menganggap dengue sebagai penyakit ringan yang akan sembuh dengan sendirinya.
Padahal, kenyataannya jauh lebih serius. Dengue bisa berkembang cepat dan menimbulkan komplikasi berat, seperti dengue shock syndrome (DSS), perdarahan hebat, dan penurunan drastis jumlah trombosit, yang bisa berujung pada kondisi gawat darurat.
Terutama, pada anak-anak, lansia, atau individu dengan penyakit penyerta.
Yang banyak masyarakat tidak mengerti adalah bahwa seseorang bisa terinfeksi dengue lebih dari satu kali, karena virus dengue memiliki empat serotipe berbeda, dan infeksi berikutnya justru bisa membawa risiko yang lebih tinggi terhadap keparahan.
Khususnya, orang-orang dengan penyakit penyerta seperti hipertensi, diabetes, dan ginjal kronik.
Baca Juga: Kasus Demam Berdarah Dengue Meningkat Musim Hujan, Ini Cara Antisipasinya
dr. Dirga menambahkan, sampai saat ini belum ada obat spesifik untuk mengatasi dengue. Satu-satunya cara terbaik yang masyarakat miliki adalah mencegah.
Dan, pencegahan ini harus menyeluruh, dimulai dari mengendalikan vektor nyamuk dengan 3M Plus, edukasi yang berkelanjutan.
Yang tidak kalah penting adalah, menambah perlindungan menggunakan metode yang inovatif seperti vaksinasi, yang kini telah direkomendasikan penggunaannya oleh asosiasi medis bagi anak-anak dan orang dewasa, tanpa memandang riwayat infeksi dengue sebelumnya.
"Artinya, orang yang belum pernah terkena dengue pun bisa mendapatkan vaksinasi. Namun, untuk mencapai perlindungan yang optimal, seseorang perlu mendapatkan dosis vaksin dengue sesuai yang direkomendasikan dokter," tegas dr. Dirga.
Andreas Gutknecht, Presiden Direktur PT Takeda Innovative Medicines, melihat, edukasi publik memiliki peran kunci dalam mengubah cara kita memahami dan menghadapi dengue.
Hal ini salah satunya terlihat hasil studi lintas negara yang kami lakukan dengan melibatkan 3.800 responden dari tujuh negara di Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
Studi ini menunjukkan, tingkat pemahaman masyarakat tentang dengue, termasuk vektor, pencegahan, dan vaksinasi, masih rendah dengan rata-rata hanya 47%.
Menariknya, Indonesia mencatat skor tertinggi dalam praktik pengendalian vektor secara mandiri, dengan 56% responden aktif melakukan upaya pencegahan.
Tapi, studi berkala yang dilakukan oleh salah satu perusahaan riset pasar internasional, ternyata menemukan bahwa masyarakat Indonesia cenderung tidak konsisten dan hanya mengintensifkan tindakan pencegahan pada musim hujan atau saat terjadi lonjakan kasus.
Menurut Andreas, hal ini menunjukkan perlunya upaya edukasi yang lebih konsisten dan berkesinambungan.
"Itulah yang mendorong kami untuk memperkuat kampanye CegahDBD tahun ini. Di mana, hari ini, kami meluncurkan video edukatif terbaru, situs web interaktif, dan kanal WhatsApp yang dirancang agar informasi penting bisa menjangkau lebih banyak keluarga di Indonesia dengan bahasa yang mudah dipahami dan terpercaya," tuturnya.
Selanjutnya: IHSG Dibuka Menguat 0,57% ke 6.672, Top Gainers LQ45: MDKA, ANTM, INCO, Kamis (24/4)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News