MOMSMONEY.ID - Pasar aset kripto turun tajam sejalan dengan pasar saham AS yang rontok. Aset kripto berkapitalisasi pasar besar atawa big cap bertumbangan dalam 24 jam terakhir.
Mengutip coinmarketcap.com, Selasa (11/3) hingga pukul 18.13 WIB, Bitcoin diperdagangkan seharga US$ 81.567, turun 0,85% dalam 24 jam terakhir. Kripto terpopuler ini bahkan sempat terpental ke kisaran US$ 76.000 pada Selasa pagi.
Penurunan Ethereum lebih dalam, yaitu mencapai 9% dalam 24 jam terakhir. Kripto ETH kini diperdagangkan seharga US$ 1.909.
Penurunan harga kripto big cap menambah tekanan likuidasi di tengah tingginya volatilitas pasar. Laporan inflasi CPI AS yang akan dirilis pada 12 Maret dan ancaman shutdown pemerintah semakin menambah ketegangan pasar.
Harga aset kripto rontok di tengah pasar saham AS yang kehilangan nilai sebesar US$ 4 triliun dalam sehari pada perdagangan Senin (10/3). Melansir Reuters, tiga indeks saham utama di Wall Street, yaitu S&P 500, Nasdaq dan Dow Jones Industrial Average masing-masing turun lebih dari 2% dalam sehari. Sektor teknologi salah satu yang paling terpukul dengan indeks S&P 500 sektor teknologi turun 4,3%.
Analyst Reku, Fahmi Almuttaqin mengatakan fenomena tersebut mengindikasikan kemungkinan sedang terjadinya upaya penyesuaian portofolio besar-besaran di kalangan investor dan aset manajer.
Baca Juga: Harga Emas Hanya Naik Tipis di Saat Mencuat Kekhawatiran Resesi
Potensi stagflasi yang diindikasikan dengan pertumbuhan ekonomi lambat dan inflasi tinggi, serta resesi ekonomi AS yang kembali terbuka di tengah upaya pengetatan anggaran
pemerintah dan kebijakan impor Trump, membuat investor sementara mungkin lebih memilih instrumen risk-off.
"Masih minimnya kejelasan terkait resolusi dari potensi risiko tersebut membuat tekanan yang ada di pasar saat ini mungkin masih akan bertahan selama beberapa saat,” beber Fahmi dalam siaran pers, Selasa (11/3).
Namun, Fahmi bilang, koreksi harga Bitcoin di bawah US$ 80.000, mungkin menjadi peluang akumulasi bagi investor institusi, khususnya jika Bitcoin dipandang sebagai instrumen lindung nilai terhadap inflasi dan ketidakpastian ekonomi.
“Meskipun demikian, altcoin, terutama yang terkait proyek AI atau teknologi, mungkin akan lebih rentan terkoreksi lebih dalam akibat valuasi yang terlalu optimis dan korelasinya dengan sentimen saham-saham AS di sektor teknologi," imbuh dia.
Ke depan, laporan inflasi dan perkembangan kebijakan fiskal AS akan menjadi faktor katalis utama. Pasar memperkirakan inflasi CPI AS akan naik sekitar 0,23%, lebih rendah dibandingkan inflasi Januari yang naik 0,5%. Namun, kenaikan tersebut masih akan membuat inflasi tahunan AS berada di angka 3%, relatif jauh dari target The Fed di level 2%.
Baca Juga: Harga Bitcoin Jatuh ke Bawah US$ 80.000 Gara-Gara Kekhawatiran Ini
Di samping itu, menurut Fahmi, dengan hasil pertemuan KTT Kripto Gedung Putih yang belum banyak memberikan katalis positif bagi pasar kripto, dan kemungkinan suku bunga The Fed dipertahankan pada pertemuan 19 Maret mendatang, maka berpotensi membuat pasar kripto masih minim katalis positif.
"Kondisi tersebut, dapat membuat tekanan yang ada di pasar saat ini berpotensi berlanjut," prediksi dia.
Meskipun demikian, potensi pergeseran sentimen investor tetap terbuka, di mana Bitcoin dapat dipandang sebagai inflation hedge. Langkah administrasi Trump untuk mensahkan Strategic Bitcoin Reserve AS dapat semakin meningkatkan legitimasi Bitcoin di kalangan investor tradisional dan negara-negara lain yang sedang mengeksplorasi langkah serupa.
Saran Fahmi, bagi investor yang cenderung mengutamakan fundamental suatu aset, dapat berinvestasi di aset kripto yang memiliki kapitalisasi pasar terbesar.
"Adapun bagi investor yang ingin mengoptimalkan kondisi pasar di saat harga naik maupun turun, dapat memanfaatkan fitur Futures di Reku, yang memungkinkan trader memproyeksi harga melalui Long atau Short dengan leverage atau penambahan modal sebanyak 25 kali,” saran Fahmi.
Selanjutnya: Akuisisi Kian Sepi, Begini Kinerja Bank Milik Investor Asing di Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News