MOMSMONEY.ID - Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) menegaskan komitmen untuk mendorong pendanaan bagi masyarakat hukum adat, terutama dalam konteks keberlanjutan.
Direktur BPDLH Joko Tri Haryanto mengungkapkan, pendanaan masyarakat hukum adat yang pendekatannya dari APBN dan APBD tak lagi cukup. Sebab, pendanaan dari APBN dan APBD yang terus-menerus cenderung kurang fleksibel dan risikonya tidak menyebar.
Oleh karena itu, alih-alih terus mengandalkan skema tradisional, Joko mendorong pemanfaatan BPDLH sebagai episentrum pengelolaan dana lingkungan.
"Sudah saatnya masyarakat hukum adat memanfaatkan bantuan BPDLH. Manfaatkanlah pendekatan yang sifatnya inovatif," tutur Joko pada diskusi Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat di Kementerian Kehutanan, Jakarta, Selasa (15/4).
Dalam membantu pendanaan, BPDLH mengusung konsep blended finance atau penggabungan berbagai sumber pendanaan. Adapun sumber yang dimaksud berasal dari filantropi, donor internasional, hingga dana bergulir dari pemerintah.
Sumber dana yang telah menjadi bagian dari skema ini termasuk Terra Catalytic Fund (filantropi), DanaTerra (filantropi), Green Climate Fund (GCF), hingga Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) dari Bank Dunia.
"Yang bisa menerima pendanaan multidonor, ya, BPDLH. Kami kelola secara transparan dan terstruktur," ujar Joko.
Ia menambahkan, nongovernmental organization (NGO) tetap bisa berperan sebagai mitra pelaksana atau intermediate agency BPDLH dalam skema ini.
Baca Juga: Rawan Diskriminasi DPR Diminta Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat
Investasi jangka panjang
Menurut Joko, keberlanjutan untuk masyarakat hukum adat tidak mungkin hanya bergantung pada hibah (grant).
"Usaha berkelanjutan itu enggak bisa terus-terusan bergantung pada grant. Harus naik kelas ke investasi," jelasnya.
Maka dari itu, BPDLH menyediakan skema dana bergulir berbunga rendah dengan tenor 2–3 tahun. Skema ini sangat cocok untuk mitra yang sedang menyiapkan diri sebelum masuk ke lembaga keuangan formal.
"Kalau lancar cicilannya, bisnisnya bagus, nanti bisa dijemput bank. Bahkan bank bisa hubungi kami untuk minta surat rekomendasi," tambahnya.
Namun, Joko mengatakan, pihaknya pun menyadari adanya risiko gagal bayar dan ketidakpastian jika pengelola mengalami masalah pribadi. Maka itu, BPDLH membuka peluang untuk menambahkan skema jaminan, asuransi, atau guarantee fund yang didukung filantropi.
Selain itu, salah satu kendala yang dihadapi masyarakat hukum adat adalah akses ke perbankan, mengingat perhutanan sosial sulit dijadikan jaminan.
"Yang bisa dijaminkan itu produknya, seperti cokelat atau kopi. Bukan pohonnya," kata Joko.
Maka, bantuan BPDLH menjadi krusial untuk menjembatani keterbatasan tersebut. Terutama, melalui dukungan pembiayaan yang mempertimbangkan keberlanjutan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News