InvesYuk

Gejolak Geopolitik Timur Tengah Berlanjut, Sinyal Bahaya bagi Indonesia?

Gejolak Geopolitik Timur Tengah Berlanjut, Sinyal Bahaya bagi Indonesia?

MOMSMONEY.ID - Perang antara Iran dan Israel yang memanas, memicu kekhawatiran inflasi global meningkat. Pasalnya, harga minyak mentah dunia telah melonjak lebih dari 10% dibandingkan bulan lalu menjadi US$ 72 per barel. 

Arfian Prasetya Aji, Ekonom KISI Asset Management, menjelaskan, jika konflik berlanjut, dapat memengaruhi Selat Hormuz, yang menjadi jalur vital 20% suplai minyak global, sehingga dapat mendorong kenaikan harga minyak. 

Melansir S&P Global dan Reuters, pada Senin lalu, Iran melakukan serangan balasan yang mengakibatkan lumpuhnya kilang minyak terbesar di Israel. Pada Selasa, dua kapal tanker minyak yang melalui Selat Hormuz terbakar.  

Menurut Arfian, secara historis, kenaikan harga minyak bisa memperburuk inflasi dan outlook pertumbuhan ekonomi global. "Bagi Indonesia, sebagai negara net importir minyak, situasi ini bisa mengancam ketahanan fiskal, karena membengkaknya anggaran pemerintah dan potensi pelebaran defisit fiskal," jelasnya dalam keterangan tertulis, Rabu (18/6).

Kabar baiknya, APBN 2025 sudah mengasumsikan harga minyak di US$ 82 per barel. Jadi, harga minyak saat ini masih dalam batas aman dan defisit fiskal diharapkan tetap terjaga. 

Defisit anggaran hingga akhir Mei 2025 juga relatif rendah, senilai Rp 21 triliun atau 0,09% PDB. Kata Arfian, ini menunjukkan target defisit tahunan sebesar 2,53% PDB masih sangat mungkin tercapai. Sebagai pembanding, pada periode yang sama tahun lalu yaitu akhir Mei 2024, defisit anggaran tercatat Rp 21,8 triliun atau 0,10% PDB.  

Baca Juga: Harga Emas Bergulir Tipis, Pasar Pantau Kemungkinan AS Bergabung Serang Iran

Namun, menurut Arfian, kekhawatiran utama akan dinamika geopolitik adalah kenaikan harga minyak global dapat memicu inflasi di Amerika Serikat. Tidak hanya dari harga energi, namun juga dari biaya logistik dan produksi barang lain. Kondisi ini akan memperburuk prospek inflasi, yang dapat mempersempit ruang gerak The Fed untuk menurunkan suku bunga. 

"Jika The Fed terpaksa terus mempertahankan suku bunga tinggi, arus modal keluar dari emerging markets seperti Indonesia dapat kembali terjadi, yang semakin menekan nilai tukar serta turut mempersempit ruang gerak bank sentral domestik," bebernya.

Akibatnya, kata Arfian, biaya pinjaman bagi pemerintah dan korporasi akan tetap tinggi, yang bisa menghambat pertumbuhan ekonomi nasional kita yang sedang melambat.

Selanjutnya: Darya Varia Laboratoria (DVLA) Bidik Pertumbuhan Pendapatan 6%-8% di 2025

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News