MOMSMONEY.ID - Imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun naik sejak awal tahun hingga Kamis (21/3). Kenaikan imbal hasil tersebut terjadi di tengah pandangan The Fed yang berpotensi memangkas suku bunga acuannya. Lantas bagaimana prospek investasi di pasar obligasi?
Laras Febriany Portfolio Manager, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menjelaskan dalam keterangan tertulis imbal hasil SBN naik karena pelaku pasar merespon data ekonomi AS yang lebih kuat dari ekspektasi.
Tercatat data ketenagakerjaan dan inflasi AS cenderung lebih tinggi dari ekspektasi pasar di awal tahun ini. Data tersebut memperkuat pandangan bahwa The Fed tidak perlu buru-buru menurunkan suku bunga. Di sisi lain, data ini tidak sesuai dengan ekspektasi pasar yang memperkirakan The Fed akan menurunkan suku bunga secara agresif di 2024.
Di awal tahun pasar memperkirakan The Fed dapat memangkas suku bunga sebesar 150bps tahun ini dengan pemangkasan pertama di bulan Maret, lebih agresif dibanding ekspektasi The Fed yang memperkirakan pemangkasan 75bps.
Merespon kondisi ini, pasar telah menyesuaikan ekspektasinya, di mana estimasi pemangkasan suku bunga pasar turun menjadi 80bps yang lebih selaras dengan ekspektasi The Fed.
Meski begitu, Laras masih melihat adanya potensi pemangkasan suku bunga The Fed di tahun ini. "Sejauh ini yang berubah adalah ekspektasi pasar yang tadinya agresif menjadi lebih selaras dengan The Fed, sementara sikap The Fed masih belum berubah," kata Laras.
Dalam pernyataan terakhirnya di awal Maret, Ketua The Fed Jerome Powell menyatakan bahwa The Fed semakin mendekati keyakinan yang dibutuhkan untuk mulai memangkas suku bunga. Pernyataan ini menjadi indikasi bahwa keyakinan The Fed terus meningkat dan kita semakin mendekati periode pemangkasan suku bunga.
Baca Juga: Sempat Pecah Rekor, Harga Emas Dunia Berbalik Naik pada Pekan Ini
Di sisi lain, inflasi Indonesia cenderung naik di awal tahun ini. Laras pun memproyeksikan dalam jangka pendek inflasi Indonesia masih cenderung naik. "Penurunan produksi beras dan tertundanya masa panen akibat El Nino menyebabkan kenaikan harga beras yang dapat mendorong kenaikan inflasi dalam jangka pendek," tutur Laras.
Kementerian Pertanian mengindikasikan bahwa periode panen raya mundur karena efek El Nino, dari biasanya terjadi di bulan Maret-April, menjadi April-Mei. Selain itu periode Ramadan juga secara musiman dapat menyebabkan inflasi cenderung naik.
Namun Laras melihat beberapa faktor ini bersifat jangka pendek dan musiman yang harusnya tidak berdampak pada kebijakan BI dalam jangka menengah.
Sebaliknya, tekanan inflasi berpotensi untuk mereda seiring dengan datangnya musim panen dan berakhirnya periode Ramadan dan Idul Fitri. Sebagai gambaran lain, inflasi inti yang mengindikasikan tekanan inflasi secara fundamental, masih menunjukkan tren melandai ke level 1,68% di Februari.
Minat investor asing
Investor asing mencatat penjualan bersih di pasar obligasi di awal tahun ini. Namun, kondisi global yang fluktuatif di tengah ketidakpastian kebijakan The Fed tentunya mempengaruhi selera investasi investor asing.
Positifnya, bauran kebijakan BI yang pro-stabilitas dan minat investor domestik yang kuat berhasil menopang pasar obligasi. Di periode Januari hingga Februari investor asing mencatat penjualan bersih Rp5,5 triliun, namun BI membukukan pembelian bersih Rp39 triliun, dan investor individu mencatat pembelian bersih Rp22 triliun.
Permintaan yang kuat di lelang SUN juga menjadi indikasi minat investor yang tetap kuat. Hingga akhir Februari 2024, rata-rata penawaran lelang SUN mencapai Rp58 triliun per lelang, lebih tinggi dari rata-rata penawaran di 2023 IDR44 triliun.
Tingkat imbal hasil yang menarik serta optimisme pasar terhadap potensi pemangkasan suku bunga masih mendukung minat investor domestik terhadap pasar obligasi.
Jadi optimisme potensi The Fed memangkas suku bunga tetap menjadi sentimen positif bagi pasar obligasi. Namun, risiko tetap ada, yaitu datang dari apabila terdapat indikasi pemangkasan suku bunga The Fed akan mundur, yang mungkin dipengaruhi oleh data ekonomi AS lebih resilien dari ekspektasi.
Perubahan ekspektasi pasar tentunya dapat menyebabkan volatilitas di pasar. Selain itu faktor geopolitik juga dapat menjadi faktor yang tidak dapat diprediksi, dengan konflik yang masih berlanjut di Timur Tengah dan Ukraina, serta hubungan AS – China yang cenderung tidak stabil.
Walau kondisi geopolitik ini tidak mempengaruhi ekonomi Indonesia secara langsung, namun eskalasi kondisi dapat mempengaruhi risk appetite investor. Di sisi domestik, perkembangan inflasi dan juga rencana APBN 2025 Presiden terpilih baru akan menjadi perhatian pasar.
Kesimpulannya, strategi portofolio di tengah kondisi pasar yang dinamis saat ini dari Laras adalah mengelola portofolio secara aktif, bergerak dinamis antara defensif dan agresif untuk membentuk portofolio yang optimal.
Laras memandang 2024 sebagai tahun yang potensial bagi pasar obligasi didukung adanya potensi pemangkasan suku bunga. Namun tidak bisa dipungkiri, volatilitas jangka pendek masih dapat terjadi hingga terdapat kejelasan arah kebijakan suku bunga The Fed. Strategi portofolio akan disesuaikan berdasarkan tinjauan makro ekonomi terkini serta fokus pada manajemen durasi, kas dan pemilihan efek untuk membentuk portofolio yang dapat bergerak dengan lincah.
Baca Juga: Penurunan Suku Bunga Masih Tertahan, Begini Efeknya Terhadap Penerbitan Global Bond
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News