InvesYuk

Ini Rekomendasi Instrumen Investasi di Tengah Konflik Geopolitik Timur Tengah

Ini Rekomendasi Instrumen Investasi di Tengah Konflik Geopolitik Timur Tengah

MOMSMONEY.ID - Simak rekomendasi instrumen investasi di tengah perang Israel dan Hamas.

Ketidakpastian masih menerpa ekonomi global. Belum usai konflik antara Rusia dan Ukraina, saat ini serangan Hamas ke Israel memicu ketegangan baru.

Dampaknya, komoditas kembali tersendat. Selain itu, harga minyak jadi naik dan memberi dampak ke berbagai negara. 

Di saat negara-negara sedang mengalami permasalahan inflasi, ketegangan geopolitik memicu permasalahan lain. Data International Monetary Fund (IMF) bahkan memperkirakan pertumbuhan ekonomi global bisa melambat menjadi 2,9% pada 2024 dari perkiraan sebelumnya di angka 3%. 

Ketua Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar Bambang Hirawan mengungkapkan, negara-negara Timur Tengah merupakan produsen minyak mentah. 

Sehingga, sudah tentu perang Hamas-Israel akan memicu ketidakstabilan mengganggu pasokan energi dan pangan yang berujung naiknya harga minyak dan komoditas. Sektor energi dan pangan ini adalah faktor pemicu inflasi secara global.

"Padahal, sebelum ada perang tersebut, kita berpikir bahwa pressure dari inflasi global sudah mulai menurun, namun ternyata kita dikagetkan oleh perang Hamas dan Israel. Ini seperti kembali pada titik sebelumnya,” katanya dalam diskusi Tumbuh Makna, bertema Menakar Efek Gejolak Timur Tengah Terhadap Ekonomi Indonesia di Jakarta, Kamis (26/10). 

Baca Juga: Rekomendasi Instrumen Investasi di Tengah Gejolak Ekonomi Global 2023

Fajar menambahkan, ketidakpastian global juga dipicu oleh perlambatan ekonomi AS dan Tiongkok. Saat ini, AS tertekan inflasi, sehingga memaksa The Fed harus menahan daya beli masyarakat.

Namun, di sisi lain, mereka juga harus bisa menjaga jumlah uang beredar. Sementara Tiongkok saat ini sedang mengalami kisurh Evergrande yang mengalami permasalahan keuangan. 

IMF melaporkan, kuartal III-2023, ada semacam pesimisme dikarenakan tekanan inflasi tetap ada dan pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan atau bahkan menurun akibat ketidakpastian global. 

"Harapannya, ketegangan yang ada di AS dan Tiongkok bisa mereda sehingga ada normalisasi yang dapat membuat iklim ekonomi kembali membaik," ujar Fajar. 

Meski begitu, di tingkat nasional, ia optimistis, ekonomi Indonesia bisa tumbuh di angka 5%. Apalagi, tahun politik akan mendorong belanja masyarakat. Menurut Fajar pemerintah perlu untuk meningkatkan sektor komoditas dan industri manufaktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. 

“Perlu diketahui, 50 % dari pertumbuhan ekonomi itu berasal dari konsumsi rumah tangga, sisanya dari investasi, kemudian ekspor dan impor. Untuk itu, kita harus menjaga daya beli masyarakat dan menjaga stabilitas harga komoditas,” ujarnya.

Co-Founder Tumbuh Makna Benny Sufami memiliki penilaian serupa, bahwa dinamika yang terjadi justru membuahkan peluang. Salah satunya pada sektor investasi.

Baca Juga: Ingin Kaya Raya? Paling Tidak Anda Harus Memiliki Tiga Sumber Penghasilan

Menurutnya, para investor pasti melihat efek global yang saat ini terjadi. Contohnya, pada aset kelas fixed income, yang disebut paling sensitif terhadap perubahan tingkat suku bunga, yang justru bisa menghadirkan kesempatan bagi pelaku investasi. 

Tingkat US treasury yield kemungkinan sudah hampir mendekati puncak atas siklus pengetatan tingkat suku bunga yang dilakukan oleh bank sentral AS.

Sebagai contoh, saat ini tingkat imbal hasil US treasury tenor 2 tahun berada di level yang lebih tinggi dari pada imbal hasil US treasury dengan dengan tenor yang lebih panjang yakni 10 tahun dan 30 tahun. 

Di minggu lalu, US treasury yield 2 tahun telah berada di atas kisaran 5,1% sementara yang 10 tahun masih sedikit di bawah 5 % yakni sekitar 4,9%, di mana kondisi tersebut kita kenal dengan istilah Inverted Yield Curve. 

Kondisi yang terjadi saat ini, menurut Benny, juga merupakan salah satu indikasi awal akan terjadinya resesi. Walaupun resesi yang ada kemungkinan cenderung ringan. Bahkan, terdapat kemungkinan AS bisa menghindari resesi dan melakukan soft landing. 

"Terlepas dari terjadinya resesi maupun soft landing, biasanya ekonomi cenderung akan cooling down yang biasanya berdampak positif terhadap kelas aset pendapatan tetap dimana tingkat imbal hasil akan cenderung menurun," tuturnya.

Baca Juga: Suku Bunga The Fed Naik, Ini Sektor Investasi Paling Bergairah

Benny bilang, kelas aset ekuitas ke depan akan cukup menantang di tengah kondisi tingkat imbal hasil obligasi yang cukup tinggi saat ini sehingga membuat ekspektasi investor atas risk premium dari kelas aset ekuitas akan lebih tinggi. 

"Antisipasi yang sama juga berlaku di pasar domestik kita, apalagi dengan melihat tingkat imbal hasil terakhir SBN tenor 10 tahun telah mencapai 7 %. Ini bisa dimanfaatkan dengan baik," ujarnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam 12 bulan ke depan, kelas aset ekuitas diperkirakan laba per sahamnya atau earning per share (EPS) dari IHSG akan tumbuh 5 % hingga 6% dan bisa diperdagangkan pada price earning (PE) 14,6 kali.

Proyeksi IHSG capai level 7.700 hingga akhir kuartal III-2024. Sementara di tahun ini IHSG masih akan tumbuh secara terbatas. Alhasil, Tumbuh Makna menyarankan investor perlu memiliki time horizon investasi yang lebih panjang. 

Namun, investor harus cermat melakukan investasi. Salah satunya, melek dengan literasi keuangan dan mengedepankan data valid. Baiknya investor mendiversifikasi ke lebih dari satu instrumen per kelas aset.

Lalu, investor disarankan memiliki tujuan investasi dalam jangka waktu yang lebih panjang dalam menganalisis data yang tepat. Kemudian, jangan lupa berinvestasi sesuai dengan profil risiko masing-masing.

Selanjutnya: Menteri Agraria dan Tata Ruang Tegaskan Status HGB Hotel Sultan Tak Diperpanjang

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News