MOMSMONEY.ID - Memasuki tahun 2025, Schroders memiliki pandangan yang optimistis tetapi tetap hati-hati terhadap pasar saham Indonesia. Sebab, masih ada risiko dan gangguan di sana-sini, terutama pada paruh pertama tahun 2025.
Dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (17/12), Schroders Indonesia, perusahaan manajer investasi, mengamati kejelasan mengenai kebijakan domestik dan asing adalah faktor kunci.
Pada dasarnya, Schroders berpikir, ekspektasi pemerintah terhadap pertumbuhan PDB yoy sebesar 5,2% dan ekspektasi konsensus terhadap pertumbuhan EPS yoy sekitar 10% untuk tahun 2025 akan membuat Indonesia menjadi salah satu pasar yang tangguh secara global.
Program-program pemerintah yang terlihat pro-konsumsi dan pertumbuhan, secara teori, positif untuk pasar saham. Hanya, Schroders masih mengharapkan pertumbuhan laba perusahaan yang sehat dari sektor-sektor seperti perbankan dan konsumen.
Meskipun demikian, Schroders memperkirakan, gangguan dapat datang baik dari sisi global seperti kembalinya DOnald Trump sebagai Presiden AS maupun dari dalam negeri, di mana investor juga terus mencermati eksekusi kebijakan dari kabinet yang baru.
Pergerakan mata uang juga sangat penting untuk pasar saham. Dari sisi valuasi, Indonesia masih diperdagangkan pada valuasi yang menarik sebesar 12,1x PE 2025, yang masih lebih murah dibanding peers negara maju seperti AS dan Jepang serta peers negara berkembang seperti India dan Malaysia.
Baca Juga: IHSG Belum Bertenaga, Ini Ulasan Kinerja IHSG di Sepanjang Tahun Ini
Katalis dan dampak global: menyeimbangkan kembali lanskap geopolitik
Dalam hal aliran modal, Schroders berpikir, pasar Indonesia masih memiliki potensi untuk mendapatkan manfaat dari sentimen lemah terhadap China karena Presiden terpilih Trump kemungkinan akan tetap bersikap keras terhadap China sementara ekonominya masih berjuang untuk pulih.
Oleh karena itu, di pasar negara berkembang Asia, India bersama dengan negara-negara ASEAN seperti Indonesia akan menjadi fokus utama bagi investor saham global.
Meskipun Schroders juga telah mulai melihat tren pembalikan pertumbuhan PDB dan laba bersih India, yang jika terus berlanjut, maka pasar negara berkembang ASEAN termasuk Indonesia kemungkinan akan menarik perhatian investor saham global.
Selain itu, Schroders mungkin terus melihat lebih banyak produsen yang mengalihkan fasilitas mereka dari China ke negara lain termasuk Indonesia, sehingga mendorong lebih banyak aliran foreign direct investment (FDI).
Meskipun demikian, satu risiko negatif dari China adalah dalam hal perdagangan karena negara ini masih menjadi salah satu mitra dagang terbesar Indonesia.
Walau berita utama terkait stimulus dapat memberikan dukungan kepada China dari waktu ke waktu, kami berpikir investor ingin melihat perbaikan dalam data makro China terlebih dahulu sebelum pemulihan menjadi struktural.
Risiko bagi China adalah jika perang dagang dengan AS meningkat maka pertumbuhan PDB China akan menghadapi tantangan lebih lanjut karena ekspor telah menjadi pendorong pertumbuhannya dalam beberapa tahun terakhir dengan lemahnya permintaan domestik.
Terkait dengan kembalinya Presiden terpilih Trump, Schroders berpikir bahwa reaksi spontan pasca pemilihan terjadi mengingat kebijakan Trump yang pro-korporasi AS dan berpotensi reflasioner.
Namun, Schroders berpendapat, investor perlu melihat lebih dekat pada kebijakan-kebijakan yang akan diumumkan oleh Trump dan melihat dampak potensialnya terhadap pasar.
Implementasi akan memakan waktu karena kita hanya melihat perang dagang mulai terjadi 1,5 tahun setelah Trump mulai menjabat pada tahun 2017.
Selain itu, ada juga yang berpendapat bahwa kebijakan reflasioner dapat mengakibatkan premi risiko saham yang lebih tinggi untuk pasar saham AS dan akhirnya menjadi bumerang bagi pasar AS.
Sikap Trump yang pro-bahan bakar fosil juga dapat meningkatkan pasokan minyak dan terus menekan harga minyak, yang agak positif untuk negara pengimpor bersih seperti Indonesia.
Oleh karena itu, penting bagi investor untuk membaca dengan teliti dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan Presiden terpilih yang akan datang.
Terakhir, kita tidak pernah dapat memastikan situasi geopolitik di seluruh dunia. Meskipun beberapa orang mungkin berpendapat bahwa Trump mungkin lebih mendukung untuk meredakan perang baik di Rusia-Ukraina maupun di Timur Tengah.
Jika situasi perang mereda, kami berpikir bahwa kita mungkin melihat dukungan yang lebih sedikit untuk harga komoditas, terutama jika sanksi-sanksi terhadap Rusia juga dicabut. Namun, jika perang terus berlanjut perhatian utama kami akan tertuju pada harga minyak.
Saat ini, harga minyak relatif stabil di USD 70-80 per barel karena permintaan masih dibatasi oleh pemulihan China yang lemah sementara pasokan melihat potensi peningkatan dari kenaikan produksi oleh OPEC+ dan mungkin AS jika Trump memang mendorong produksi.
Risiko terbesar yang dapat menyebabkan harga minyak melonjak, menurut pandangan kami, adalah jika Israel menyerang kilang minyak di Iran diikuti oleh pembalasan oleh Iran melalui pemblokiran Selat Hormuz.
Baca Juga: Schroders Bersikap Defensif Pada Pasar Obligasi di 2025
Katalis dan dampak domestik: dorongan untuk memulihkan permintaan domestik
Schroders telah melihat pasar saham Indonesia menguat di awal tahun 2024 didorong oleh kepercayaan investor terhadap pemerintah baru yang berjanji untuk memberikan kebijakan yang pro-pertumbuhan dan konsisten.
Schroders masih meyakini bahwa kebijakan-kebijakan tersebut merupakan pendorong utama bagi pasar saham Indonesia. Schroders memetakan fokus utama dari kebijakan-kebijakan tersebut adalah: pertama, kecukupan energi. Kedua, kecukupan pangan.
Ketiga, pembangunan manusia melalui pengembangan sekolah dan program makan siang gratis. Keempat, reformasi penyediaan layanan kesehatan. Kelima, perumahan yang terjangkau.
Dari program-program ini, Schroders pikir fokus utama pemerintah adalah konsumen, energi, pertanian, perawatan kesehatan, dan properti. Meskipun semuanya baik di atas kertas, investor perlu memantau pelaksanaan kebijakan-kebijakan ini.
Pertumbuhan fundamental adalah faktor kunci lainnya yang perlu menjadi fokus. Pemerintah menargetkan pertumbuhan PDB yoy sebesar 5,2% pada tahun 2025. Meskipun kami berharap ada pemulihan investasi pasca tahun pemilu, daya beli dan konsumsi tetap menjadi perhatian utama.
Oleh karena itu, Schroders berharap, pelaksanaan belanja pemerintah yang lancar dapat mendukung konsumsi di tahun mendatang untuk mengatasi potensi risiko dari penurunan ekspor terkait komoditas.
Dalam hal laba perusahaan, Schroders belum melihat banyak dampak dari laba perusahaan terhadap penguatan indeks di awal tahun 2024 karena laba bersih YTD sebagian besar sesuai harapan dan kurang kejutan positif.
Itu sebabnya, setiap kejutan positif dalam laba di tahun 2025 dapat menjadi katalis utama untuk pasar saham di tahun 2025. Saat ini, konsensus mengharapkan pertumbuhan EPS yoy di sekitar 10% pada tahun 2025.
Strategi dan posisi: menavigasi dengan optimisme
Secara keseluruhan, meskipun berhati-hati, Schroders tetap bersikap oportunistik di pasar saham memasuki tahun 2025 dan akan berfokus pada pemilihan saham.
Schroders menilai, kepercayaan dan kenyamanan investor asing terhadap pasar saham Indonesia setidaknya akan mendukung pasar dari penurunan yang berlebihan.
Makanya, Schroders berpandangan, ide tematik sangat penting untuk menghasilkan alpha serta mencari nama-nama yang diuntungkan dari kebijakan yang akan datang, baik dari pemerintah Indonesia atau kebijakan luar negeri.
Meskipun faktor global mungkin terus mempengaruhi sentimen pasar, menurut Schroders, pelaksanaan kebijakan Pemerintah Indonesia akan menjadi katalis utama bagi pasar saham.
Schroders akan berhati-hati di awal tahun sebelum menginvestasikan lebih banyak di kemudian hari ketika kejelasan lebih lanjut tentang kebijakan muncul.
Selanjutnya: OJK: Penyaluran Pembiayaan Kendaraan Roda Empat Rp 298,30 Triliun per Oktober 2024
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News