InvesYuk

Schroders Indonesia Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tumbuh 5% di 2025

Schroders Indonesia Optimistis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tumbuh 5% di 2025

MOMSMONEY.ID - Schroders membagikan pandangan mengenai prospek makroekonomi 2025 yang lebih optimistis dari pada tahun 2024. Meski kondisi global masih menjadi tantangan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia, Schroders memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia naik 5% di 2025. 

Sedikit mengulas peristiwa yang terjadi di sepanjang 2024, pemotongan suku bunga yang telah lama dinantikan akhirnya terjadi. Perlambatan di pasar tenaga kerja AS terlihat jelas meskipun dapat dikatakan tetap tangguh. 

Inflasi juga menunjukkan tren penurunan yang mendorong the Fed untuk dapat memulai pemotongan suku bunga pada bulan September. 

China mengumumkan serangkaian dukungan ekonomi baik secara moneter maupun fiskal untuk membantu menstabilkan neraca keuangan pemerintah daerah yang lemah dan membantu menghidupkan kembali sektor properti yang bermasalah. 

Eskalasi perang terus meningkat antara Rusia-Ukraina dan di Timur Tengah. Untungnya, dampaknya terhadap harga minyak tidak terlalu mengkhawatirkan dan tetap stabil , hal ini terus mendukung narasi inflasi yang lebih lambat secara global.

PT Schroder Investment Management Indonesia meyakini prospek pertumbuhan ekonomi di 2025 lebih optimis, terutama di AS. Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, dan kemenangan Partai Republik berarti kebijakan dan tarif yang pro-pertumbuhan AS akan lebih mudah diimplementasi.

Baca Juga: Konsumsi Lemah Menekan Ekonomi China di Tengah Ancaman Tarif Trump

Kebijakan Trump mencakup pemotongan pajak korporasi, undang-undang imigrasi yang ketat, dan tarif, yang semuanya akan memiliki implikasi inflasi pada ekonomi AS. Hal ini akan mempersulit pertumbuhan China yang saat ini berada di tengah-tengah pemulihan dari penurunan properti dan lockdown COVID yang berkepanjangan, yang masih berdampak pada perekonomian. 

Meski tambahan tarif AS mungkin merugikan beberapa upaya pemulihan China, bahkan tanpa itu pun kami belum melihat pemulihan yang signifikan karena penjualan properti masih lesu dan permintaan domestik tetap lemah, yang tercermin dalam pertumbuhan PDB.

Implikasi situasi global terhadap ekonomi Indonesia kemungkinan akan tidak menguntungkan. Ketika ekonomi AS tumbuh dengan kuat, Indonesia berpotensi melihat arus keluar portofolio baik di saham maupun obligasi. 

Ini merupakan risiko bagi neraca pembayaran Indonesia mengingat transaksi berjalan tetap negatif meski lebih sempit daripada sebelumnya. 

Baca Juga: Persiapan Liburan Nataru 2024-2025, Ini Cara & Biaya Pembuatan Paspor Sehari Jadi

Sementara, kenaikan harga komoditas yang mungkin terjadi akibat pertumbuhan ekonomi AS yang lebih baik dapat membantu ekspor dan neraca perdagangan Indoensia. Namun tarif terhadap China dapat berdampak negatif pada volume ekspor kita ke negara tersebut.

Dalam hal inflasi, Schroders tidak melihat adanya kekhawatiran. Inflasi pangan yang rendah dan biaya transportasi yang lebih rendah membantu menurunkan inflasi utama. 

Pada awal tahun, Bank Indonesia mengubah target inflasinya menjadi 1,5-3,5%, dan memang inflasi utama telah jauh di bawah 2%. Meskipun harga mendukung untuk mendongkrak permintaan domestik, namun ini juga merupakan akibat dari lemahnya konsumsi. 

Hal ini tercermin dalam pertumbuhan PDB kuartal ketiga yang melambat menjadi 4,95%, sedikit di bawah 5%. Schroders melihat bahwa inflasi mungkin sudah mencapai titik terendah dan kemungkinan akan naik dari sini, terutama jika pemerintah mampu melaksanakan program fiskal yang berfokus pada permintaan domestik dengan segera.

Bank Indonesia juga telah mulai memangkas suku bunga meskipun tidak dapat melakukan pemotongan yang sama dengan the Fed mengingat depresiasi Rupiah. Prioritas tetap pada stabilitas Rupiah, meskipun inflasi rendah dan konsumsi yang lebih lemah berarti Indonesia membutuhkan kebijakan yang lebih longgar. 

Instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang diperkenalkan pada akhir tahun 2023 telah menarik arus masuk yang besar dari pihak asing dan jumlah yang beredar telah tumbuh secara substansial pada tahun 2024, terutama pada bulan April, Mei, dan Juni ketika depresiasi Rupiah terjadi dengan cepat. 

Hingga Oktober 2024, pihak asing dilaporkan melakukan pembelian bersih sebesar Rp 200 triliun dan memegang Rp 262 triliun atau setara dengan 27,3% dari kepemilikan SRBI.

Pada tahun depan, BI mungkin akan kesulitan untuk memangkas suku bunga jika Presiden Trump menekan kebijakan yang akan berdampak meningkatkan inflasi karena hal ini akan menyebabkan the Fed menjadi kurang akomodatif. 

Baca Juga: Bank Dunia Proyeksikan Ekonomi Indonesia Tumbuh 5,1% di 2025

BI mungkin akan terus memanfaatkan SRBI sebagai sinyal kepada pasar apakah mereka ingin melonggarkan atau mengetatkan kebijakan. Untungnya, cadangan devisa telah terisi kembali, BI melaporkan cadangan sebesar US$151,2 miliar yang mencakup 6,6 bulan impor, yang menyediakan cadangan yang cukup.

Di sisi fiskal, di tahun pertama masa kepresidenan Prabowo-Gibran, mungkin akan ada banyak kebijakan yang dijanjikan akan dieksekusi dan telah dimasukkan ke dalam anggaran yang telah disetujui. Hal ini akan berdampak positif pada pertumbuhan, dan defisit fiskal untuk tahun 2025 terlihat terkendali di -2,5%. Namun, kenaikan proyeksi pertumbuhan pendapatan sebesar 12% mungkin akan menjadi tantangan karena kita telah melihat penerimaan pajak yang lemah tahun ini akibat melemahnya harga komoditas. 

Dari sisi belanja, kami melihat adanya pergeseran prioritas, proyek-proyek infrastruktur lebih selektif dan dalam anggaran 2025, anggaran IKN berkurang secara signifikan, sebagai gantinya anggaran tersebut dialokasikan untuk program pangan serta kenaikan gaji PNS. 

Terdapat komponen belanja “lain-lain” yang tidak disebutkan, sehingga memberikan fleksibilitas bagi pemerintah baru untuk mengalokasikan program-program pada pos tersebut. Kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% mungkin terlihat kontradiktif dengan tujuan pemerintahan baru, namun beberapa pihak berspekulasi bahwa kenaikan ini akan ditunda.

Secara keseluruhan, Schroders meyakini bahwa pertumbuhan di tahun 2025 akan dapat mencapai 5% lagi, dengan belanja fiskal yang kemungkinan besar akan didorong pada tahun pertama kepemimpinan Presiden Prabowo. 

Inflasi yang lebih rendah kemungkinan akan tetap terjadi, meskipun mungkin sudah mencapai titik terendah dan inflasi kemungkinan akan meningkat dari sini. Neraca Pembayaran berisiko mengalami arus keluar portofolio baik di saham maupun obligasi karena pertumbuhan pro-AS dalam pemerintahan Trump dapat mengakibatkan uang mengalir keluar dari pasar negara berkembang. 

Tantangan lain yang mungkin kita hadapi termasuk tarif dari AS yang dapat secara langsung atau tidak langsung berdampak ke ekspor bersih Indonesia.

 

Selanjutnya: Cara Mematikan iCloud di iPhone untuk Semua Perangkat iOS

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News