MOMSMONEY.ID - Kebijakan tarif imbal balik atawa tarif resiprokal Presiden Donald Trump pada puluhan negara mulai berlaku, Rabu (9/4). Efek kebijakan tersebut mengundang reaksi negara pelaku pasar global.
PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menjelaskan mengapa reaksi pasar global sangat negatif pada kebijakan tersebut. Pertama, angka tarif mayoritas jauh lebih tinggi dibandingkan ekspektasi.
Freddy Tedja Head of Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) dalam keterangan tertulis, Selasa (8/4) menjelaskan sejak masa kampanye, Presiden Donald Trump menegaskan perihal pengenaan tarif dasar 10% bagi semua negara, dan tambahan-tambahan spesifik lebih besar untuk negara-negara tertentu seperti misalnya China dan Meksiko, serta juga tambahan-tambahan spesifik untuk industri tertentu seperti misalnya otomotif.
Namun angka-angka tarif resiprokal yang diumumkan kemarin membuat tingkat tarif efektif AS secara rata-rata naik dari 3% ke 25%, tertinggi dalam 100 tahun terakhir.
Kedua, basis perhitungan tarif yang berbeda dari formula umum yang lazim digunakan. Freddy mengatakan tarif resiprokal umumnya dihitung dari trade barrier atau hambatan perdagangan yang ada antara dua negara yang melakukan aktivitas perdagangan.
Misalnya, jika suatu negara mengenakan tarif sebesar 10% untuk barang yang dibeli dari AS, maka AS pun akan mengenakan tarif 10% untuk seluruh barang yang dijual dari negara tersebut ke AS. (Resiprokal = berlawanan/berkebalikan/timbal balik).
Inilah cara perhitungan tarif resiprokal yang umum dan dianggap wajar. Namun kenyataan yang terjadi, basis perhitungan yang digunakan Amerika Serikat kemarin ternyata bukan dari trade barrier, tapi trade gap (ketidakseimbangan perdagangan).
Baca Juga: Ekonomi Indonesia Diproyeksi Turun Imbas Kebijakan Tarif Trump, Begini Perhitungannya
Ilustrasi tarif resiprokal AS ke Indonesia menjadi, tahun 2024, impor AS dari Indonesia tercatat USD38.3 miliar, sementara impor Indonesia dari AS hanya senilai USD10.2 miliar. Artinya neraca perdagangan AS mengalami defisit USD17.9 miliar. Mengikuti formula yang ditetapkan, maka Indonesia terkena tarif resiprokal 32%.
Pertanyaan selanjutnya, apakah formula yang digunakan AS sudah tepat? Banyak perdebatan mengenai hal ini, dengan konsensus lebih mengarah bahwa pendekatan yang lebih tepat seharusnya berdasarkan pada trade barrier (hambatan perdagangan seperti tarif yang sudah berlaku dan pergerakan mata uang), bukan trade gap atau defisit perdagangan.
Pendekatan tarif berdasarkan trade gap bisa menciptakan angka tarif yang sangat tinggi justru bagi negara-negara berkembang, dibandingkan dengan negara-negara maju. Srilanka terkena tarif resiprokal 44% (impor AS dari Srilanka senilai USD368 juta, terutama produk garmen, sementara Srilanka hanya mengimpor barang dari AS senilai US$ 3 juta).
Contoh lain adalah Madagaskar yang terkena tarif 47% (impor AS dari Madagaskar senilai USD733 juta, terutama produk agrikultur seperti biji vanila, sementara Madagaskar hanya membeli barang AS senilai US$ 53.4 juta saja).
Sejatinya, defisit perdagangan antara negara-negara wajar terjadi dan menciptakan win-win solution seperti harga yang efisien atau lebih murah dibandingkan memproduksi sendiri, kemudahan akses terhadap barang/komoditas tertentu, mendorong keunggulan kompetitif masing-masing negara, dan sebagainya.
Baca Juga: Daftar Barang yang Bakal Menguras Dompet Rakyat Amerika Akibat Kebijakan Tarif Trump
Namun setelah dikonfirmasi, Dewan Penasihat Ekonomi (Council of Economic Advisors) kepresidenan AS menegaskan formula yang digunakan tidak salah, memang lebih bertujuan untuk menutup trade gap atau celah perdagangan antara AS dengan mitra-mitranya.
Apakah tarif resiprokal AS dapat berubah?
Sampai tulisan ini diturunkan tanggal 8 April 2025, Presiden AS masih menegaskan tarif resiprokal ini akan tetap berlaku mulai tanggal 9 April besok, dan negara-negara yang melakukan pembalasan tarif akan menerima ‘hukuman’ tarif balasan yang lebih tinggi lagi, seperti China yang sudah menyatakan akan melakukan tarif balasan ke AS, dan ditanggapi AS dengan ancaman tarif resiprokal yang tadinya 34% akan dinaikkan menjadi 50%.
Di lain pihak, AS menyatakan keterbukaannya pada negara-negara dunia untuk bernegosiasi, sehingga mungkin saja ke depannya besaran tarif resiprokal ini dapat berubah.
Selanjutnya: Petani Sawit Desak Pemerintah Turunkan Pajak Ekspor Usai Tarif Impor AS Naik 32%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News