MOMSMONEY.ID - PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menyampaikan ulasan dan proyeksi kondisi pasar global dan domestik kala Donald Trump memimpin Amerika Serikat.
Ezra Nazula, Director & Chief Investment Officer, Fixed Income MAMI, menyampaikan dalam keterangan tertulis, jika di periode pertama kepemimpinan Trump diwarnai dengan beragam kebijakan yang tidak terduga, drastis, hingga dianggap emosional, situasi tersebut bisa menyebabkan guncangan di pasar finansial, stabilitas nilai tukar, serta hubungan dagang internasional.
Di era tersebut, beberapa kebijakan yang muncul adalah penurunan pajak dan kebijakan proteksionisme tidak mampu meningkatkan pertumbuhan serta tak terlalu memicu inflasi. Siklus ekonomi yang justru memengaruhi angka inflasi dan arah suku bunga.
Pasar global dan Asia
Ezra mengatakan, di tengah kekhawatiran pasar terhadap potensi kebijakan-kebijakan AS ke depan, potensi pemangkasan suku bunga di 2025 tidak berubah.
Diperkirakan perekonomian global akan memasuki siklus moderasi pertumbuhan dan pelandaian inflasi, sehingga penurunan suku bunga dapat berlanjut.
Dampak kebijakan Trump terhadap inflasi dan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) AS sepertinya belum akan terjadi di tahun depan sehingga The Fed masih punya peluang untuk melanjutkan pemangkasan Fed Funds Rate (FFR).
Saat ini, besaran pemangkasan FFR memang lebih konservatif, namun ekspektasi pasar akan selalu dinamis mengikuti data dan sentimen terbaru yang muncul.
Kawasan Asia sendiri menurut Ezra punya beberapa peluang yang dapat dioptimalkan di tengah outlook kondisi yang menantang seperti pada era perang dagang AS – China 2018 di mana banyak perusahaan multinasional menerapkan strategi China +1 dan Friendshoring.
Solusi ini dinilai cukup berhasil menghadapi ketatnya kebijakan AS saat itu dan kebijakan serupa sangat terbuka diterapkan di 2025. ASEAN dan India sebenarnya diuntungkan dari kondisi tersebut, seiring biaya produksi yang kompetitif dan keterbukaan pemerintah terhadap investasi asing.
Baca Juga: Platform Lokasi Bantu Pengusaha Cari Tempat Bisnis Lebih Mudah
Pasar domestik
Ezra melanjutkan, Indonesia sendiri tak luput dari tantangan global tersebut, oleh karena itu perlu dukungan dari sisi fiskal untuk mengawal pertumbuhan ekonomi di 2025 dalam upayanya menjaga stabilitas rupiah dan potensi pelemahan ekspor imbas dari kebijakan tarif AS.
Di tahun depan, BI diperkirakan akan berhati-hati melanjutkan pemangkasan suku bunga dengan tetap berfokus pada upaya stabilisasi nilai tukar.
Namun dari sisi yang lain, perang tarif ini berpotensi memicu peningkatan Foreign Direct Investment (FDI) ke Indonesia.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, terjadi peningkatan kontribusi FDI China dan Hong Kong dari 17% dari total FDI Indonesia di 2016 menjadi 28% di 2023.
Menilik data terkini, komitmen investasi di sektor teknologi tinggi (AI, baterai EV, carbon capture) juga menggembirakan dan diharapkan mendukung pengembangan industri domestik dan memberi nilai tambah lebih.
Berbicara tentang perekonomian, upaya perbaikan konsumsi dan daya beli menjadi fokus utama, terlebih ekonomi Indonesia yang berorientasi domestik mampu menjadi tameng terhadap risiko perlambatan ekonomi global.
Kebijakan pemerintah untuk mendorong konsumsi dapat menjadi penopang pertumbuhan ekonomi 2025.
Selanjutnya, jika angka inflasi domestik masih rendah potensi pemangkasan BI Rate sangat terbuka, peluang ini diperkirakan mampu membawa efek positif bagi aset finansial salah satunya instrumen obligasi.
Baca Juga: Ada Potensi January Effect, Cek Arah IHSG & Rekomendasi Saham Awal 2025
Pasar obligasi
Ezra juga menjelaskan bahwa di tengah ketidakpastian kondisi global saat ini, memilih strategi defensif menjadi salah satu opsi menarik sehingga berinvestasi di pasar obligasi menjadi sangat ideal untuk tujuan tersebut. Kelas aset obligasi menawarkan stabilitas lebih dari pembayaran kupon berkala.
Lalu secara historis kelas aset obligasi juga mampu bekerja optimal di era pemangkasan suku bunga sehingga menawarkan potensi capital gain. Investor bisa berinvestasi pada beberapa obligasi sekaligus untuk tujuan diversifikasi risiko.
Sebagai penutup, Ezra berpendapat bahwa Indonesia masih menjadi salah satu negara berkembang yang menawarkan imbal hasil menarik.
Namun dalam jangka pendek volatilitas rupiah masih menjadi tantangan terbesar, walau dalam jangka panjang kebijakan fiskal AS akan membuat defisit fiskal melebar, menciptakan iklim negatif bagi mata uang USD, bertolak belakang dengan Indonesia yang diperkirakan tetap mempertahankan kebijakan disiplin fiskal.
Ezra memperkirakan BI Rate tahun depan akan berada di kisaran 5,00% – 5,25% kemudian imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) 10Y di sekitar 6,00% - 6,25%.
Pasar saham
Beralih ke pasar saham, peluang jangka panjangnya sangat menarik jika melihat rasio PE forward 12m di kisaran 12,1x yang berada di bawah rata-rata 5 tahunnya di 14,8x.
Namun, dalam jangka pendek potensi volatilitasnya sangat tinggi imbas dari kebijakan-kebijakan Amerika-sentris yang memengaruhi banyak faktor: mulai dari perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global hingga nilai tukar mata uang dolar AS.
Melihat tantangan makroekonomi yang tangguh, investor saham bisa melirik sektor-sektor domestik-sentris, terutama sektor yang berpeluang diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan Presiden Prabowo untuk menopang daya beli masyarakat.
Strategi Reksadana Saham MAMI sendiri pun akan fokus pada emiten-emiten yang menurut analisis masih memiliki potensi pertumbuhan earnings di kondisi seperti saat ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News