MOMSMONEY.ID – Pernah sakit kepala atau demam, lalu langsung beli obat di apotek tanpa ke dokter? Anda tidak sendirian! Faktanya, banyak orang Indonesia memilih swamedikasi atau pengobatan mandiri tanpa resep dokter sebagai 'pertolongan pertama' saat kesehatan terganggu. Praktis memang, tapi tahukah Anda risikonya?
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, terjadi peningkatan prevalensi swamedikasi sebesar 29% selama periode 2015–2024. Lonjakan tertinggi tercatat pada tahun 2021 sebesar 84,2%, diikuti oleh 84,3% pada 2022, sebelum sedikit menurun menjadi 79% pada 2024. Meskipun mengalami sedikit penurunan di tahun 2024, angka ini tetap sangat tinggi, menunjukkan sebagian besar masyarakat Indonesia masih mengandalkan pengobatan mandiri sebagai solusi utama kesehatan.
Beralih ke kancah global, praktik swamedikasi ternyata bukan fenomena yang hanya terjadi di Indonesia. Menurut hasil studi yang dipublikasikan oleh National Library of Medicine (2024), 85% masyarakat Republik Ceko mencoba pengobatan sendiri sebelum berkonsultasi dengan tenaga kesehatan, seperti menggunakan obat herbal, homeopati, atau suplemen (seperti vitamin/mineral). Sementara itu, dilansir dari America-retail.com, sebanyak 75% populasi Brasil mengaku melakukan pengobatan mandiri tanpa berkonsultasi dengan spesialis. Hal ini menunjukkan bahwa swamedikasi merupakan bagian dari dinamika sistem kesehatan global, bukan hanya isu lokal.
Selain Republik Ceko dan Brasil, sejumlah negara lain juga menunjukkan tingkat swamedikasi yang tinggi. Polandia dan Kolombia masing-masing mencatat angka sebesar 73%, disusul Argentina dan Meksiko di atas 70%, Peru 69%, dan Amerika Serikat 65%. Di kawasan Eropa Barat, Italia mencatat 56% dan Spanyol 55%. Sementara itu, negara-negara Asia seperti Korea Selatan (48%) dan Jepang (34%) menunjukkan angka yang jauh lebih rendah, mencerminkan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi terhadap sistem kesehatan formal.
Fenomena swamedikasi di Indonesia bukan semata persoalan keterbatasan akses layanan kesehatan. Praktik ini juga dipengaruhi oleh faktor budaya, pengalaman pribadi, hingga kondisi ekonomi. Sebuah studi tahun 2022 oleh Universitas Padjadjaran Bandung mengidentifikasi setidaknya tujuh alasan utama mengapa swamedikasi digemari, khususnya di kalangan mahasiswa Fakultas Kedokteran di kampus tersebut, menganggap sakit yang dialami tergolong ringan, pengalaman sebelumnya dalam penggunaan obat pribadi atau keluarga, kendala finansial, saran dari orang tua atau teman, keinginan menghemat waktu, pengetahuan medis atau farmasi yang dimiliki, serta kebutuhan yang sifatnya mendesak.
Tingginya angka swamedikasi di Indonesia tidak lepas dari keterbatasan sistem layanan kesehatan dan tantangan ekonomi masyarakat. Meski jangkauan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui BPJS Kesehatan telah mencapai 98,25% penduduk pada 2024, tingginya angka swamedikasi menunjukkan masih ada kesenjangan dalam akses atau kenyamanan layanan kesehatan formal. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam prosiding Seminar Nasional Official Statistics (Semnas Offstat) oleh Politeknik Statistika STIS (2021) menyatakan bahwa ketidakpuasan masyarakat terhadap layanan BPJS Kesehatan, seperti waktu tunggu yang lama dan proses administrasi yang rumit, menjadi salah satu faktor pendorong praktik swamedikasi.
Baca Juga: IDI dan Koalisi Desak Pemerintah Perkuat Pengendalian Konsumsi Zat Adiktif
Risiko tersembunyi dari swamedikasi
Meskipun tampak sepele, kebiasaan langsung mengonsumsi obat atau jamu tanpa panduan medis bisa menimbulkan risiko kesehatan serius—terutama jika dilakukan tanpa memahami dosis, efek samping, atau kondisi medis yang sebenarnya diderita. Berikut beberapa dampak yang bisa terjadi jika melakukan swamedikasi secara keliru :
- Salah diagnosis
Tanpa pemeriksaan medis, seseorang bisa keliru menilai gejala yang dialami, sehingga salah menentukan jenis penyakit.
· Penggunaan obat atau dosis yang salah
Mengonsumsi obat yang tidak sesuai atau dengan dosis yang tidak tepat bisa memperburuk kondisi atau menyebabkan efek samping yang berbahaya.
· Menutupi penyakit yang lebih serius
Obat yang dikonsumsi secara keliru bisa menyamarkan gejala, sehingga penyakit yang mendasarinya bisa saja tidak terdeteksi dan justru menjadi semakin parah.
· Reaksi obat yang merugikan
Anda bisa saja mengalami reaksi negatif dari obat tertentu tanpa resep medis yang jelas, termasuk alergi atau gangguan organ.
· Interaksi obat berbahaya
Kombinasi antara obat bebas, jamu atau suplemen tanpa resep medis yang jelas dapat memicu reaksi kimia yang bisa membahayakan tubuh.
· Kecanduan atau ketergantungan
Beberapa obat, seperti pereda nyeri atau obat tidur, berisiko menimbulkan ketergantungan jika digunakan tanpa pengawasan atau resep medis yang jelas.
· Resistensi antibiotic
Menggunakan antibiotik tanpa resep dokter dapat menyebabkan bakteri menjadi kebal terhadap pengobatan, membuat infeksi lebih sulit diatasi bahkan berujung pada kematian. Sejalan dengan ini, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan juga menegaskan bahwa antibiotik hanya boleh digunakan atas rekomendasi dokter. Ketika digunakan secara sembarangan, antibiotik justru mendorong munculnya resistensi bakteri. Resistensi ini tak hanya membahayakan individu, tetapi juga memperbesar risiko penyebaran infeksi yang tidak lagi bisa diobati dengan obat yang tersedia.
Seluruh risiko di atas bisa berujung pada terlambatnya penanganan medis profesional serta biaya tambahan akibat komplikasi yang mungkin terjadi. Oleh karena itu, penting untuk selalu berkonsultasi dengan tenaga medis sebelum mengonsumsi obat apa pun, terutama untuk penyakit yang belum terdiagnosis secara jelas.
Baca Juga: Apa Saja Pantangan Gula Darah Tinggi ya? Berikut Ini Daftarnya
Saat swamedikasi jadi kebiasaan
Meski mayoritas masyarakat Indonesia telah terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan, tingginya angka swamedikasi menunjukkan adanya tantangan terkait akses, persepsi, dan kenyamanan dalam menggunakan layanan kesehatan. Untuk mengatasi hal ini, pendekatan yang lebih menyeluruh sangat dibutuhkan, meliputi edukasi publik yang efektif dan penyediaan alternatif perlindungan kesehatan yang lebih fleksibel serta personal.
Berbagai pihak dapat berperan dalam mendorong perubahan tersebut, mulai dari kreator konten edukasi, apoteker/tenaga kesehatan, hingga platform digital di sektor asuransi, salah satu contohnya adalah Lifepal - marketplace asuransi digital yang memudahkan masyarakat mencari produk asuransi. Selain menyediakan konsultasi gratis bagi mereka yang mencari produk asuransi, Lifepal juga berfokus pada penyediaan konten edukasi seputar asuransi melalui blog dan kanal media sosialnya. Konten-konten ini mencakup berbagai informasi praktis, termasuk cara memaksimalkan manfaat perlindungan kesehatan yang dimiliki.
Benny Fajarai, Co-Founder Lifepal mengatakan, tingginya angka swamedikasi menunjukkan bahwa masyarakat butuh solusi yang cepat, mudah, dan sesuai dengan kondisi mereka. Namun di balik kemudahan itu, ada risiko yang perlu disadari. “Di sinilah pentingnya peran edukasi dan akses perlindungan yang tepat, agar keputusan kesehatan tidak hanya praktis, tapi juga aman dan berkelanjutan,” kata Benny dalam siaran pers, Senin (2/6).
Perlu dicatat, swamedikasi bukan praktik yang sepenuhnya salah. Dalam kondisi ringan dan dengan pemahaman yang cukup, misal sakit kepala ringan, bisa diobati dengan mengonsumsi obat generic yang tersedia di pasaran. Ini bisa menjadi opsi sementara, sejalan dengan yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan bahwa swamedikasi boleh dilakukan dengan menggunakan obat bebas/bebas terbatas dari apotek resmi.
Masalah muncul ketika Anda melakukan pengobatan sendiri untuk kasus yang lebih serius dari sekadar gejala ringan. Anda bisa terjebak dalam risiko berbahaya seperti salah diagnosis, dosis tidak tepat, atau penyalahgunaan antibiotik. Lalu bagaimana solusinya? Pertama, jika Anda memilih untuk menggunakan obat bebas, pastikan Anda memperhatikan petunjuk pemakaian, komposisi, dosis, efek samping, dan tanggal kedaluwarsa sebelum digunakan. Kedua, perhatikan obat mana yang benar-benar memerlukan resep (dan patuhi aturan mengenai obat yang diresepkan). Terakhir, lengkapi perlindungan kesehatan Anda dengan asuransi.
Selanjutnya: Kementerian ESDM Pastikan PLTU Batubara Kapasitas 3,2 GW Bakal Beroperasi Tahun Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News