MOMSMONEY.ID - PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menyampaikan ulasan pasar obligasi dalam lima bulan terakhir di 2025. Seberapa solid kinerja instrumen surat utang ini?
Syuhada Arief Senior Portfolio Manager Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menjelaskan dalam keterangan tertulis, Senin (11/8), saat ini Amerika Serikat (AS), telah mengumumkan tarif perdagangan yang menurut Presiden Trump sudah merupakan angka final. Namun, pasar finansial tidak terlalu reaktif berfluktuasi tinggi.
Penyebabnya, besaran angka-angka tarif final tersebut sudah diprediksi pasti akan lebih tinggi dibandingkan tarif perdagangan tahun lalu, sehingga tidak lagi mengagetkan pasar. Di lain pihak, justru besaran tarif yang diumumkan awal bulan lalu ternyata tidak setinggi angka-angka yang diumumkan bulan April lalu. Dua hal inilah yang membuat pengumuman Trump tariff bulan Agustus ini tidak menimbulkan gejolak pasar berlebihan, sangat berbeda dengan pengumuman pertama di bulan April kemarin.
Baca Juga: Saham Bank Mandiri (BMRI) Ditutup Melemah 0,81% pada Perdagangan Rabu 13 Agustus 2025
Sementara dampaknya terhadap perekonomian dunia adalah tentu mempengaruhi peta perdagangan global. Berdasarkan proyeksi IMF bulan Juli 2025, perekonomian dunia tahun 2025 diproyeksi tumbuh 3.0%, lebih rendah dibandingkan proyeksi awal 3.3% yang dirilis bulan Januari, tapi juga mengalami peningkatan dibandingkan proyeksi revisi yang dirilis bulan April sebesar 2.8%, saat Presiden Trump pertama kali mengumumkan serangkaian tarif resiprokal yang sangat tinggi. Selain tarif, revisi kenaikan di bulan Juli ini juga didasari ekspansi fiskal di banyak negara yang meningkatkan likuiditas, serta kecenderungan pelemahan nilai tukar US$ yang membuat tekanan pasar finansial mereda.
Dengan asumsi tidak ada lagi perubahan dan negosiasi, Syuhada memproyeksikan inflasi AS akan naik. Di lain pihak, kenaikan harga juga dapat membuat masyarakat mengurangi konsumsi dan menerapkan skala prioritas. Hal ini sudah mulai terlihat dalam data pertumbuhan PDB kuartal kedua AS, di mana data private domestic purchase yang menggambarkan konsumsi rumah tangga dan investasi korporasi melandai hanya tumbuh 1.2%, pertumbuhan terendah sejak kuartal keempat 2022. Menurunnya konsumsi akan mempengaruhi aktivitas produksi dan sektor tenaga kerja. Hal ini pun sudah mulai terlihat dari data sektor tenaga kerja non farm payroll yang rata-rata hanya tumbuh 35 ribu per bulan, level terendah sejak pandemi.
Baca Juga: Strategi Investasi Obligasi untuk Dana Pensiun
Mempertimbangkan beberapa kondisi di atas, Syuhada menilai The Fed masih memiliki ruang bahkan lebih terbuka untuk menurunkan Fed Funds Rate (FFR) satu sampai dua kali sampai akhir tahun, dengan pandangan bahwa peningkatan tekanan inflasi akan bersifat sementara, di sisi lain pelemahan ekonomi sangat krusial untuk ditangani.
Pasar Indonesia
Beralih ke Indonesia, setelah aktif bernegosiasi, tingkat tarif untuk Indonesia berhasil diturunkan dari 32% menjadi 19%, ditambah beberapa komitmen yang diumumkan langsung oleh Presiden Trump untuk membeli produk energi senilai USD15 miliar, produk pertanian senilai US$ 4,5 miliar, dan 50 pesawat terbang.
Syuhada melihat tarif untuk Indonesia memang turun, tetapi harus ingat tetap ada kenaikan dibandingkan tahun lalu yang hanya 10%. Kenaikan ini tetap akan berdampak pada perdagangan, mengingat ekspor unggulan ke AS adalah sektor padat karya seperti misalnya alas kaki dan tekstil. Namun secara relatif tarif yang dikenakan ke Indonesia adalah salah satu yang terendah di ASEAN, hanya kalah dari Singapura yang tarifnya 10%. Indonesia punya peluang untuk meningkatkan daya saing ekspor, jika dilakukan pembenahan dari sisi kualitas, konsistensi, regulasi, logistik dan sebagainya.
Mengenai komitmen, pembelian produk energi dan pertanian tidak memberatkan. Di tahun 2024 Indonesia mengimpor energi dari AS senilai USD2 miliar, sementara dari negara-negara lain senilai USD33 miliar. Untuk komoditas pertanian, Indonesia mengimpor gandum, kedelai, dan pakan ternak dari AS senilai USD2 miliar, dan dari negara-negara lain senilai USD8 miliar. Indonesia dapat mengalihkan porsi impor dari negara lain ke AS. Selain itu, pembelian tersebut dapat menyeimbangkan neraca perdagangan dengan AS yang selama ini dikeluhkan. Sementara itu pembelian pesawat terbang merupakan komitmen jangka panjang yang mungkin baru akan dipenuhi sampai belasan bahkan puluhan tahun, mengingat untuk memproduksi satu pesawat saja membutuhkan waktu lama dan harus mengantre.
Sebagai tambahan, sedikit melenceng dari topik tarif AS, jangan lupakan juga bahwa Indonesia baru saja merampungkan kesepakatan dengan Uni Eropa yang tertuang dalam IEU-CEPA (Indonesia European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement). Kesepakatan ini menjadi tonggak baru bagi Indonesia yang akan menghapuskan tarif dagang untuk ±98% produk ekspor ke Uni Eropa, seperti tekstil, alas kaki, minyak sawit, perikanan, dan suku cadang otomotif. Sebagai gantinya Indonesia akan mempermudah akses untuk komoditas ekspor Uni Eropa seperti mesin, farmasi, dan produk kimia. Pemerintah memproyeksi kesepakatan ini dapat meningkatkan ekspor ke Uni Eropa hingga 50% dalam 3 – 4 tahun ke depan, dan menciptakan 500 ribu lapangan kerja baru, dan memitigasi dampak kenaikan tarif AS.
Baca Juga: Siapkan Dana Pensiun dengan Instrumen Investasi Ini, Ada Obligasi dan Reksadana
Pertumbuhan ekonomi Indonesia
Pertumbuhan PDB kuartal kedua 2025 baru saja diumumkan sebesar 5.12% YoY, lebih baik dari prediksi konsensus. Syuhada melihat masih terlalu dini untuk mengambil kesimpulan bahwa pembalikan arah ini dapat konsisten. Justru kami memperkirakan BI akan tetap mempertahankan kebijakan pro-growth untuk benar-benar memperkuat kondisi ekonomi, apalagi di tengah inflasi yang terjaga, nilai tukar Rupiah yang sudah lebih stabil, berlalunya ketidakpastian tarif. Kami perkirakan penurunan lanjutan BI Rate masih tetap terbuka. Median konsensus memperkirakan BI Rate dapat turun ke 5,0% di akhir 2025.
Kinerja Pasar Obligasi
Sepanjang paruh pertama 2025 dengan segala perkembangan yang terjadi pasar obligasi domestik sangat gesit bertahan dan kinerjanya terus melaju. Syuhada memproyeksikan dinamika makroekonomi global dan domestik tetap suportif bagi pasar obligasi. Meningkatnya preferensi pada aset di luar AS, pelemahan USD, serta outlook turunnya FFR dan BI Rate mendukung minat terhadap pasar obligasi Indonesia.
Ekspektasi siklus penurunan suku bunga ini pun sebenarnya masih berlanjut di 2026, sehingga hal ini semakin mendukung daya tarik pasar obligasi ke depannya. Komitmen pemerintah untuk menjaga disiplin fiskal (defisit <3% dari PDB) juga merupakan faktor positif, seperti misalnya tercermin dari lembaga pemeringkat S&P yang bulan Juli lalu mengafirmasi rating ‘BBB’ dengan outlook stabil, mengindikasikan persepsi positif investor terhadap kondisi fiskal Indonesia. Secara singkat sebagai kesimpulan, outlook pasar obligasi sampai akhir tahun ini masih positif.
Mengenai pengelolaan portofolio, saat ini kami fokus pada obligasi tenor pendek sampai menengah, ditopang keyakinan bahwa baik The Fed dan BI akan menurunkan suku bunga acuan di paruh kedua 2025 ini. Selain itu, kita juga menambah alokasi pada obligasi korporasi dengan kualitas kredit yang baik dan memberikan premium imbal hasil yang menarik. Dalam melakukan investasi pada obligasi korporasi, kami melakukan analisa komprehensif termasuk analisa risiko kredit mandiri, sehingga kami tidak bergantung kepada lembaga pemeringkat rating eksternal obligasi.
Selain itu, kami melakukan analisis risiko likuiditas dengan menganalisis data historis transaksi ataupun ketersediaan harga bid dan offer di pasar termasuk kedalaman volume bid-offer tersebut. Analisis kompabilitas juga menjadi pertimbangan penting dengan membandingkan yield spread premium terhadap imbal hasil obligasi pemerintah ataupun imbal hasil relatif terhadap obligasi korporasi lain yang sejenis (contoh dengan peringkat kredit yang sama dan durasi yang sama).
Selanjutnya: Saham BBCA Menguat 0,85% pada Perdagangan Rabu, 13 Agustus 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News