InvesYuk

Perang Dagang AS-China Mereda, Peluang Berinvestasi di Pasar Obligasi

Perang Dagang AS-China Mereda, Peluang Berinvestasi di Pasar Obligasi

MOMSMONEY.ID - Respons pelaku pasar global membaik, pasar keuangan menyimpan harapan. Menurut Laras Febriany, Portfolio Manager Fixed Income Manulife Asset Manajemen Indonesia, ada peluang di pasar obligasi. 

Pada Mei lalu, tensi perang dagang terutama antara Amerika Serikat (AS) dan China terlihat sedikit mendingin. Bahkan pada awal Juni ini, sudah ada tanda-tanda perundingan yang lebih konkret antara kedua negara. 

Laras mengatakan, sentimen pasar memang membaik. Jika satu hingga dua bulan lalu pasar selalu bereaksi negatif, cenderung langsung melihat kemungkinan-kemungkinan terburuk yang ada, saat ini pasar lebih terlihat hopeful walaupun tetap masih sangat waspada. "Hal ini terjadi karena perkembangan negosiasi tarif perdagangan menopang sentimen pasar dan mengurangi kekhawatiran terhadap risiko resesi ekonomi," jelasnya dalam keteranga tertulis, Minggu (17/6)..

AS dan Inggris sudah mencapai mencapai kesepakatan, AS dan Uni Eropa sepakat memperpanjang masa negosiasi untuk 90 hari kedua, dan yang paling menjadi perhatian pasar, AS dan China saling membuka diri untuk bernegosiasi dan menurunkan tarif. 

Namun di sisi lain, pasar tetap waspada mengingat kebijakan AS yang sangat mudah berubah. Apalagi walaupun tingkat tarif antar negara akhirnya bersifat final, namun setidaknya tarif dasar universal 10% tetap akan berlaku, dan tentu akan berdampak negatif terhadap perdagangan dan pertumbuhan global.

Sedangkan, tema US exceptionalism semakin memudar setelah AS membuat kebijakan-kebijakan yang akhirnya membuat negara tersebut cenderung terisolasi, baik dari sisi geopolitik maupun ekonomi dan berganti dengan tema Sell America. 

Baca Juga: Pasar Saham dan Obligasi Hancur, Robert Kiyosaki Bilang Orang Rame-Rame Beli Ini

Laras mengatakan yang harus investor pahami, Sell America ini bukan berarti investor mengalihkan seluruh investasinya dari AS ke kawasan lain. Namun preferensi dan alokasi investasi jangka panjang ke kawasan lain selain AS cenderung meningkat, dan bukan bersifat taktikal saja.

Beberapa faktor pemicu peningkatan preferensi investasi ke kawasan selain AS adalah tantangan pertumbuhan ekonomi AS imbas kenaikan tarif di tengah siklus pelemahan ekonomi yang memang sedang terjadi, ketidakpastian dan potensi perubahan ekstrem arah kebijakan Trump di berbagai sektor: fiskal, perdagangan, imigrasi.

Selain itu, kekhawatiran fiskal terkait laju tingkat utang dan defisit, seperti sudah tercermin dari penurunan peringkat kredit oleh Moody’s dan risiko geopolitik yang membatasi keleluasaan bisnis dan investasi.

Di tengah terjadinya perubahan preferensi alokasi dan arus dana global, Asia memiliki kelebihan berupa jagat investasi yang unik dan variatif, menggabungkan emiten-emiten yang berfokus pada pertumbuhan domestik dengan emiten-emiten yang diuntungkan oleh pertumbuhan struktural sektor teknologi. 

Tech hardware, renewables energy, EV supply chain, IT services, robotic  automation, dan AI supply chain, consumption, dan pharmaceuticals adalah beberapa dari ragam sektor yang potensial sebagai sub-tema investasi ke depan. "Intinya, jika kita berbicara tentang Asia, kita berbicara mengenai domestic self sufficiency dan global tech supply chain," beber Laras. 

Sedangkan di Indonesia, di kuartal pertama, pertumbuhan ekonomi melemah karena konsumsi rumah tangga yang lemah dan tidak merata sejak pandemi selesai, ditambah dengan proses realokasi APBN yang membuat belanja pemerintah juga terkontraksi. Hal ini dilawan dengan paket stimulus ekonomi yang sayangnya belum terlalu berpengaruh.

Di kuartal kedua, realokasi APBN telah selesai dan harapannya belanja pemerintah akan lebih terakselerasi dan transmisinya pada perekonomian lebih efektif. Meredanya volatilitas terkait perang dagang dan arus keluar dana asing yang diikuti dengan stabilitas nilai tukar  ditambah dengan penurunan BI Rate dan stimulus ekonomi lanjutan juga diharapkan dapat memperbaiki daya beli dan konsumsi.   

Dampaknya tidak instan, tapi kita berharap di semester kedua nanti tingkat konsumsi dapat semakin pulih, Rupiah semakin stabil (dengan asumsi kericuhan perang dagang sudah berlalu), implementasi belanja pemerintah dapat lebih leluasa dan efektif mendukung ekonomi, dan BI rate juga diharapkan masih bisa turun di tengah inflasi yang terjaga. Semuanya ini dapat menopang pertumbuhan ekonomi, setidaknya tidak terus melemah.

Baca Juga: Investasi di Jenius Makin Lengkap dengan Fitur Investasi Obligasi Pasar Sekunder

Ekspektasi redanya perang dagang dan meningkatnya preferensi dan alokasi investasi ke luar AS yang membuat indeks dolar AS melemah, membuka peluang bagi pemerintah untuk terus menjaga stabilitas rupiah. Tekanan pada rupiah juga berkurang setelah berlalunya periode musiman pembayaran dividen dan kebutuhan dollar AS terkait musim ibadah haji.

Manulife memperkirakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sampai akhir tahun akan berada di kisaran Rp 16.200-Rp 16.900 per dollar. Untuk suku bunga, Bank Indonesia (BI) mengindikasikan ruang pemangkasan suku bunga masih terbuka di tengah inflasi sangat terjaga dan adanya urgensi untuk mendukung pertumbuhan melalui pelonggaran moneter. 

Proyeksi Manulife untuk BI rate sampai akhir tahun ini setidaknya adalah 5,25%. Selain lewat penurunan BI Rate, ekspektasi perbaikan likuiditas pasar ke depan juga terjadi setelah BI menurunkan rasio PLM (Penyangga Likuiditas Makroprudensial) sebesar 100 bps yang diperkirakan menghasilkan tambahan likuiditas pasar senilai kisaran Rp 90 triliun. 

Likuiditas juga akan meningkat seiring jatuh tempo SRBI yang  mencapai puncaknya bulan-bulan mendatang. Di kuartal ketiga sebesar Rp 273 triliun dan kuartal keempat senilai Rp 224 triliun.

Seiring dengan ekspektasi penurunan Fed Funds Rate serta BI rate hingga akhir tahun ini, obligasi tenor pendek dengan durasi rendah masih menjadi opsi paling menarik dalam berinvestasi saat ini.

Sebab, menurut Laras, dengan turunnya suku bunga acuan, maka imbal hasil obligasi ikut mengalami penurunan sehingga investasi pada tenor tersebut diharapkan dapat mencetak capital gain. Kupon obligasi juga dapat menjadi bantalan di tengah tingginya ketidakpastian serta volatilitas jangka pendek yang diperkirakan masih akan terjadi.

Baca Juga: Imbal Hasil Tinggi, Duit Asing Masuk Pasar Obligasi Indonesia

Faktor risiko yang Laras cermati dari sisi global adalah masih berlanjutnya volatilitas pada imbal hasil US Treasury dengan diturunkannya peringkat kredit AS serta berlanjutnya perang tarif antara AS dan China.  Sementara itu faktor risiko dari sisi domestik yakni apabila stimulus yang digelontorkan pemerintah tidak tepat sasaran sehingga konsumsi belum dapat pulih sepenuhnya sehingga dapat berpengaruh kepada pertumbuhan PDB. 

Katalis positif yang diharapkan dapat menopang pasar yakni terjaganya pasokan obligasi denominasi rupiah, dengan rencana kenaikan penerbitan obligasi global, baik dalam dollar AS maupun dalam mata uang asing lainnya seperti AUD dan RMB. Ekspektasi penurunan penerbitan SRBI dan tingginya jumlah jatuh tempo SRBI di pasar juga diharapkan dapat meningkatkan likuiditas pada pasar obligasi.

Dalam mengatur portofolio reksadana pendapatan tetap di Manulife, Laras selalu mengedepankan pengelolaan portofolio yang aktif dan bergerak dinamis antara defensif dan agresif dalam membentuk portofolio yang optimal.

Manajemen durasi terus dipertahankan, serta tetap fokus kepada pengambilan posisi yang tepat pada kurva imbal hasil (yield curve positioning) dan pemilihan efek yang memberikan valuasi menarik, baik seri benchmark maupun non-benchmark, dengan tetap mempertimbangkan likuiditas pasar serta menjaga diversifikasi dalam portofolio untuk memitigasi risiko pasar.

Selanjutnya: Indointernet (EDGE) Siapkan Sejumlah Ekspansi di Tahun 2025, Ini Rinciannya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News