MOMSMONEY.ID - Nilai tukar rupiah melemah sejak awal tahun hingga rupiah di Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia (BI) ada di level Rp 16.679 per dolar Amerika Serikat (AS) pada Rabu (30/4).
Meski begitu, Syuhada Arief Senior Portfolio Manager Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) mengatakan, instrumen pasar obligasi Indonesia masih menarik meski rupiah melemah.
Pelemahan rupiah dan mata uang negara-negara berkembang lainnya didorong oleh ketidakpastian kondisi ekonomi akibat kebijakan tarif Trump.
Namun demikian, belajar dari kasus kebijakan tarif Trump sebelumnya di mana penurunan tensi sebagai hasil dari kesepakatan perundingan tarif AS dengan negara-negara lain, akan mendorong penguatan mata uang negara berkembang termasuk rupiah.
Dengan demikian, ini adalah saat yang tepat untuk melakukan dollar cost averaging memanfaatkan momentum pelemahan rupiah dan harga obligasi.
Strategi ini juga diterapkan oleh investor-investor asing di mana berdasarkan data yang dikutip dari Kementrian Keuangan, dalam periode tahun berjalam sampai Maret 2025, investor asing mencatatkan net buy sekitar Rp 16,29 triliun.
"Pembelian oleh investor asing ini juga menunjukkan kepercayaan investor asing terhadap fundamental dan outlook SBN," kata Syuhada dalam keterangan tertulis, Kamis (29/4).
Sejak terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS akhir tahun lalu, MAMI telah melakukan perubahan strategi di mana beralih ke obligasi tenor pendek untuk mengantisipasi kebijakan tarif yang sudah disampaikan pada masa kampanye lalu.
Baca Juga: Imbal Hasil Obligasi AS 10 Tahun Stabil di 4,17% Jelang Pengumuman Data Penting
Obligasi tenor pendek dengan durasi rendah ini selain lebih resilien terhadap volatitlitas pasar, juga akan diuntungkan dari kebijakan penurunan suku bunga.
Tahun ini, Fed merencanakan pemotongan suku bunga acuan Fed (FFR) sebesar 50 bps, sementara konsensus pasar memprediksi Fed akan memotong FFR sebesar 100 bps.
Kesimpulannya, Syuhada mengingatkan bagi investor yang menaruh investasi di instrumen obligasi bahwa volatilitas jangka pendek diperkirakan tetap akan tinggi.
Pasar akan menunggu hasil negosiasi bilateral antar negara terkait kebijakan tarif AS, dampak terhadap ekonomi, reaksi dan sinyal bank sentral, juga menantikan perkembangan kebijakan ekonomi Indonesia.
Kondisi ketidakpastian global yang tinggi dan pelemahan ekonomi sudah pernah kita alami berkali-kali. Dan secara historis, suku bunga dan kebijakan pemerintah dapat menjadi lebih suportif dalam kondisi tekanan ekonomi.
Investor diharapkan memiliki portofolio investasi yang terdiversifikasi untuk menurunkan volatilitas keseluruhan portofolio.
Selain itu pastikan juga ada diversifikasi ke kelas aset yang likuid yang berfungsi sebagai bantalan, namun juga dapat dengan lincah kita manfaatkan untuk menangkap peluang investasi yang ada, misalnya, ketika bank sentral memberi sinyal terkait kebijakan pelonggaran moneter.
Selanjutnya: Agung Podomoro (APLN) Tekan Kerugian di Kuartal I-2025, Simak Rekomendasi Sahamnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News