MOMSMONEY.ID - Perkembangan teknologi membuat arus informasi kian deras tersebar. Hal ini menjadi tantangan gen Z dan gen Alpha dalam membentuk mentalitas serta intelegensia mereka. Mengonsumsi informasi yang keliru apalagi hoaks dapat mengancam rencana jangka panjang pemerintah menuju Indonesia Emas di 2045. Alih-alih menjadi generasi emas, hoaks justru akan membentuk bangsa menjadi Indonesia cemas.
"Gen Z dan Alfa harus bisa lebih semangat dan jangan cepat patah mental," kata Dekan Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Ria, Ade Ria Nirmala di Pekanbaru dalam keterangan resmi yang diterima Rabu (5/3).
Hal tersebut dia sampaikan dalam diskusi bertajuk "Generasi Z dan Alfa di Era Digital 5.0, Mampukah Menjadi Generasi Emas?". Ade mengatakan bahwa gen Z dan Alfa harus lebih banyak berpikir dan berkegiatan positif agar memiliki mental yang kuat.
Dia melanjutkan, mereka juga harus lebih kritis dan skeptis dalam menerima arus informasi yang bertebaran di dunia maya apalagi media sosial. Menurutnya, banyak informasi yang beredar perlu di cek lebih lanjut kebenarannya. Hal ini dilakukan agar generasi penerus tidak terjebak dalam informasi ambigu.
Hal senada diungkapkan Direktur Pusat dan Analisa Ekonomi Nusantara, Edo Segara Gustanto. Dia menilai bahwa saat ini gen Z dan Alfa masih rentan terpapar isu hoaks. Dia mencontohkan isu boikot produk yang diduga terafiliasi Israel menyusul agresi negara zionis tersebut ke tanah Palestina.
Baca Juga: Menyongsong Indonesia Emas 2045, Pasar Modal Indonesia Berada di Tangan Generasi Muda
Beredarnya isu hoaks terlihat ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa nomor 83 terkait imbauan untuk tidak memakai produk yang diduga terkait Israel. Edo melanjutkan, tidak lama berselang setelah MUI mengeluarkan fatwa tersebut, bermunculan daftar produk yang diduga terafiliasi Israel.
Padahal, sambung dia, MUI dan pemerintah tidak pernah mengeluarkan daftar resmi perusahaan-perusahaan yang disebut-sebut terkait Israel. Menurut Edo, tidak semua orang memahami kalau ada yang menunggangi isu boikot di Indonesia.
Dekan UIN, Ade menimpali bahwa masyarakat jangan hanya ikut-ikutan terkait gerakan boikot ini mengingat banyak informasi bias berkenaan dengan daftar produk. Menurutnya, publik harus mencari informasi akurat sebelum melakukan boikot terhadap produk tertentu.
Dia meminta masyarakat melihat betul profil produsen dari setiap produk yang masuk dalam daftar. Masyarakat harus mencari tahu misal apakah pemodal, kegiatan bisnis mereka 100 persen berasal dari asing atau lokal hingga asal karyawan yang bekerja.
Ade mengungkapkan kalau sumber informasi produk boikot yang disebarkan melalui media sosial tidak pernah jelas. Menurutnya, daftar produk yang beredar saat itu jelas bisa ditambahkan atau dikurangi berdasarkan selera pengunggah.
Dosen Ade berpendapat bahwa sudah seharusnya pemerintah dan lembaga terkait lainnya mengklarifikasi dan meluruskan daftar hoaks yang sudah beredar. Dia mengatakan, cara-cara kekinian seperti menggunakan medsos dan kecerdasan buatan (AI) juga harus digunakan agar lebih masuk dan mudah dimengerti gen Z dan Alpha.
Selain itu, Edo juga meminta publik untuk lebih kritis dan hati-hati dalam melakukan boikot terhadap produk tertentu. Menurutnya, diperlukan riset mendalam untuk membuktikan keterkaitan sebuah produk atau produsen terhadap Israel.
Dosen Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, Muhammad Rizky mengatakan bahwa penyebaran informasi hoaks berpotensi mengancam ekonomi digital. Dia melanjutkan, informasi yang beredar bakal berdampak pada preferensi publik untuk membeli produk tertentu.
Menurutnya, perkembangan ekonomi digital dapat membantu pertumbuhan ekonomi nasional. Sehingga, sambung dia, pemerintah perlu membuat regulasi yang mendukung pertumbuhan sektor usaha. "Regulasi di Indonesia seperti UU ITE, hingga UU terkait digital yang diadakan harus melindungi pelaku usaha di setiap industri," tuturnya.
Baca Juga: Komdigi Temukan 1.923 Konten Hoaks Sepanjang Tahun 2024
Selanjutnya: Metropolitan Land (MTLA) Lanjut Mengembangkan 6 Hotel Eksistingnya Tahun Ini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News