Santai

Mengenal Job Hugging yang Marak Terjadi karena Ketidakpastian Ekonomi

Mengenal Job Hugging yang Marak Terjadi karena Ketidakpastian Ekonomi
Reporter: Rezki Wening Hayuningtyas  |  Editor: Rezki Wening Hayuningtyas


MOMSMONEY.ID - Jadi perbincangan, apa itu job hugging sebenarnya? Mari simak ulasan lengkapnya di sini!

Pasar tenaga kerja yang sedang lesu membuat banyak karyawan memilih bertahan di tempat kerja mereka saat ini. Keputusan ini bukan karena mereka puas, melainkan karena muncul rasa khawatir sulit menemukan pekerjaan lain di luar sana.

Fenomena yang dikenal sebagai job hugging ini memang terlihat seperti pilihan aman, tetapi di sisi lain bisa menimbulkan perasaan terjebak.

Menurut pakar ketenagakerjaan dalam laman Fortune, kondisi tersebut dapat memicu ketidakpuasan mendalam yang berpotensi melahirkan gelombang besar pengunduran diri ketika situasi pasar kembali membaik.

Konsultan ketenagakerjaan menilai, meski pekerja memilih bertahan untuk sementara waktu, kecemasan dan frustrasi tetap meningkat. Mereka menahan diri untuk tidak pindah pekerjaan, namun di balik itu banyak yang menyimpan keinginan untuk segera keluar begitu kondisi memungkinkan.

Lalu, apa job hugging itu, mengapa semakin banyak orang melakukannya, dan apa dampaknya bagi karier maupun perusahaan?

Baca Juga: 10 Jenis Kerja Online dari Rumah yang Banyak Dibutuhkan di Tahun 2025

Apa Itu Job Hugging?

Job hugging secara sederhana dapat diartikan sebagai kecenderungan karyawan untuk tetap bertahan pada pekerjaannya sekarang, meskipun mereka merasa tidak puas, tidak berkembang, atau bahkan tidak menyukai pekerjaannya. Alih-alih mencari tantangan baru, mereka memilih “memeluk erat” pekerjaan yang ada karena dianggap lebih aman.

Kenapa Job Hugging Marak Terjadi?

Menyadur dari laman Forbes, fenomena job hugging muncul akibat ketidakpastian ekonomi yang semakin terasa. Generasi muda, khususnya Gen Z, lebih memilih bertahan dalam pekerjaan bukan karena merasa berkembang, tetapi karena takut terhadap masa depan.

Dengan maraknya PHK, biaya hidup yang melonjak, dan kondisi ekonomi yang ketat, kecemasan pekerja mencapai titik tertinggi. Dalam situasi ini, tetap di pekerjaan lama dianggap pilihan paling logis dibandingkan mengambil risiko di tempat baru.

Perasaan khawatir ini wajar, sebab ketidakpastian dalam pekerjaan sering kali menimbulkan stres lebih besar dibanding kehilangan pekerjaan itu sendiri. Tidak ada seorang pun yang bisa menebak masa depan, sehingga bertahan pada sesuatu yang stabil menjadi reaksi alami ketika posisi kerja sedang terancam.

Ilusi Aman, Risiko Stagnasi

Jennifer Schielke, CEO dan salah satu pendiri Summit Group Solutions, menilai job hugging menciptakan kesan seolah-olah pekerja lebih loyal. Namun, kenyataannya justru bisa menyebabkan stagnasi.

Menurutnya, jika perusahaan menganggap rendahnya angka turnover sebagai tanda keberhasilan, mereka bisa lengah dan akhirnya menghadapi “pengunduran diri diam-diam” yang justru menguras talenta begitu pasar membaik.

Schielke menambahkan, tren PHK setelah masa pemulihan pasca-Covid 2020 membuat banyak pekerja semakin berhati-hati. “Dengan laporan pekerjaan yang tidak stabil, keterbatasan anggaran, dan rasa takut yang terus hadir di ruang kerja, wajar jika orang memilih bertahan demi stabilitas,” jelasnya.

Apalagi sebelumnya banyak pekerja sempat menikmati fleksibilitas kerja jarak jauh dan kondisi ekonomi yang lebih baik, sehingga perubahan drastis sekarang terasa mengganggu.

Baca Juga: 15 Skill Pekerjaan Freelance yang Paling Banyak Dibutuhkan

Tanda-Tanda Job Hugging

Schielke menyebut ada beberapa tanda yang bisa menunjukkan seseorang sedang terjebak dalam job hugging, antara lain:

  • Stres meningkat hingga memengaruhi suasana hati dan perilaku tim.
  • Perubahan kinerja, di mana karyawan lebih fokus pada hal-hal yang mereka kuasai ketimbang tugas penting yang sebenarnya dibutuhkan tim.
  • Ada kecenderungan mengambil peran tambahan di luar pekerjaannya, namun tidak disertai kualitas optimal pada tugas utamanya.
  • Karyawan yang sebenarnya sudah tidak cocok dengan posisinya, tapi tetap bertahan karena takut dengan kondisi pasar kerja.

Apa yang Bisa Dilakukan Perusahaan?

Menurut Schielke, pemimpin seharusnya memanfaatkan momen ini untuk fokus pada pengembangan, pendampingan, dan pertumbuhan karyawan. “Meski mereka tidak pindah kerja, karyawan tetap butuh maju,” katanya.

Pemimpin yang baik harus paham bahwa stabilitas bukan berarti keterlibatan. Inilah waktu yang tepat untuk memperkuat budaya kerja yang sehat agar bertahan lebih lama dari sekadar situasi pasar.

Tara Ceranic Salinas, profesor etika bisnis dan ketua jurusan manajemen di University of San Diego, menambahkan bahwa perusahaan yang mengabaikan keluhan karyawan justru akan menciptakan tenaga kerja yang tidak terlibat (disengaged workforce). Dampaknya, tidak hanya merugikan individu, tapi juga kinerja bisnis.

Salinas menekankan pentingnya tindakan nyata, bukan sekadar kata-kata. Menurutnya, perusahaan yang ingin mempertahankan keterlibatan harus benar-benar berinvestasi dalam budaya kerja, mengedepankan empati, dan mengutamakan sisi kemanusiaan.

Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:

  • Rutin mengecek kondisi karyawan. Membuka ruang umpan balik yang jujur dan menindaklanjuti masukan mereka.
  • Berinvestasi dalam pengembangan. Memberikan pelatihan, mentoring, atau jalur karier agar karyawan merasa dihargai.
  • Mengembalikan fleksibilitas kerja. Banyak karyawan tidak senang dengan kewajiban kembali ke kantor penuh. Memberi opsi jadwal fleksibel bisa meningkatkan kepuasan.
  • Menunjukkan empati. Pemimpin sebaiknya berbagi pengalaman dan tantangan mereka agar tercipta budaya yang lebih tangguh.
  • Menjelaskan visi perusahaan. Karyawan perlu tahu arah perusahaan dan bagaimana peran mereka berkontribusi di dalamnya.

Baca Juga: 8 Pekerjaan yang Tidak Bisa Digantikan dengan AI

Bagaimana dengan Karyawan?

Bagi pekerja, Schielke menilai bertahan terlalu lama dalam ketakutan justru bisa menghambat karier. Ketika merasa terjebak, Salinas menyarankan agar momen ini dimanfaatkan untuk merencanakan langkah berikutnya, misalnya dengan mempelajari keterampilan baru atau mencari peran yang lebih sesuai minat.

Schielke juga menyarankan untuk berdiskusi dengan atasan agar posisi Anda lebih jelas. Selain itu, penting memiliki mentor atau penasihat yang bisa memberi sudut pandang objektif sepanjang perjalanan karier. Ia bahkan merekomendasikan membuat peta karier pribadi untuk menilai kapan saat yang tepat bertahan dan kapan harus melangkah ke babak baru.

Salinas menambahkan, mengeksplorasi apa yang dilakukan rekan kerja di bidang lain bisa membuka peluang menarik. Jika ada peran yang sesuai minat, mulailah memetakan keterampilan yang dibutuhkan. Ini bisa melibatkan pelatihan tambahan, sertifikasi, atau peningkatan kompetensi baru.

Demikianlah ulasan tentang apa itu job hugging. Job hugging adalah fenomena ketika karyawan memilih bertahan di pekerjaannya meski merasa tidak puas atau tidak berkembang, karena menganggap posisi yang ada lebih aman.

Kondisi ini marak terjadi akibat ketidakpastian ekonomi, tingginya angka PHK, dan meningkatnya biaya hidup yang membuat pekerja ragu mengambil risiko pindah kerja. Job hugging mencerminkan reaksi alami manusia untuk mencari stabilitas di tengah situasi yang penuh ketidakpastian.

Baca Juga: Pekerjaan Jam 9 Sampai 5 Semakin Ditinggalkan Menuju 2034, kok Bisa?

Selanjutnya: Adaro Minerals (ADMR) Tertekan Penurunan Harga Batubara, Simak Rekomendasi Sahamnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News