MOMSMONEY.ID - Mantan Direktur Jenderal atau Dirjen Pajak, Hadi Poernomo, mendesak Pemerintah Indonesia bukan sekadar mengundurkan penerapan tarif PPN 12%, melainkan membatalkan kenaikan tarif PPN tersebut.
Sebagai alternatif, Hadi mengusulkan sistem perpajakan berbasis sistem monitoring self-assessment untuk menjaga penerimaan negara, sekaligus menurunkan tarif PPN kembali ke 10%.
Sebelumnya, kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 2022, dan rencana kenaikan menjadi 12% pada 1 Januari 2025, yang diatur dalam UU HPP Pasal 7 ayat (1), menuai banyak kritik. Berdasarkan data BPS, sebagian besar tenaga kerja Indonesia (lebih dari 50 juta orang) berpendidikan rendah, dengan daya beli terbatas. Kenaikan tarif PPN akan menambah beban mereka, mengurangi daya beli, dan memperparah ketimpangan sosial ekonomi.
Berdasarkan data RAPBN 2025, ketergantungan terhadap PPN, yang mencapai 43,2% dari total penerimaan pajak, juga menjadi perhatian. "Mengandalkan PPN sebagai sumber utama hanya akan membebani masyarakat kecil yang mayoritas pendapatannya untuk konsumsi," ujar Hadi dalam keterangan resmi.
Ia menegaskan kebijakan perpajakan harus melindungi daya beli rakyat kecil dan mendorong pemerataan ekonomi.
Menurut Hadi, pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) agar ketetapan tarif PPN 12 persen yang ada dalam UU HPP bisa dibatalkan.
Baca Juga: Pahami Apa Itu Email Spoofing, Cara Mengenali, hingga Pencegahan untuk Pengguna
“Penerbitan Perppu dapat dilakukan untuk mencegah kenaikan tarif PPN. Karena ini kan sudah diatur undang-undang di UU HPP,” imbuh Hadi yang juga merupakan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan RI Periode 2009-2014.
Ia juga menambahkan, mengacu pada UU HPP, tarif PPN 12% akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Artinya masih ada waktu satu bulan untuk membatalkan aturan tersebut. “Waktu yang singkat ini masih bisa dilakukan pemerintah dengan menerbitkan perppu, karena hanya membutuhkan persetujuan dari Presiden Prabowo Subianto,” ungkap Hadi.
Korupsi dan penghindaran pajak memiliki karakteristik yang sama, yaitu timbul karena adanya kesempatan. Prinsip self-assessment yang mengandalkan kejujuran Wajib Pajak, berpotensi menimbulkan pelaporan pajak dengan tidak benar dan jelas.
Dalam sistem self-assessment, Wajib Pajak diberikan hak untuk menghitung sendiri pajaknya, membayar pajak yang terutang, dan melaporkannya melalui Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikan kepada otoritas pajak.
Hadi mengusulkan sistem monitoring self-assessment, di mana seluruh transaksi keuangan dan non-keuangan Wajib Pajak wajib dilaporkan secara lengkap dan transparan. Sehingga pajak bukan hanya sebagai sumber utama pendapatan negara, tetapi juga alat yang sangat strategis untuk memberantas korupsi dan melunasi semua utang negara.
Baca Juga: Apa Itu Bunga Tabungan? Ini Pengertian, Jenis, hingga Ilustrasi Hitungan
Untuk diketahui, sistem monitoring self-assessment dirancang untuk menghimpun data dari berbagai sumber yang akan disatukan dengan konsep berbasis link and match. Dengan begitu, negara mampu menguji SPT Wajib Pajak serta memungkinkan pemetaan penerimaan negara secara komprehensif, termasuk pendapatan yang bersifat legal maupun ilegal.
Sistem ini dapat memastikan setiap laporan pajak mencerminkan kondisi ekonomi sebenarnya, meminimalkan kebocoran penerimaan pajak, meningkatkan kepercayaan publik, dan optimalisasi penerimaan negara tanpa menaikkan tarif. "Dengan pengawasan ini, tarif PPN dapat kembali menjadi 10 persen tanpa mengurangi penerimaan negara," papar Hadi.
Hadi menyoroti inkonsistensi regulasi sebagai hambatan utama pengawasan pajak yang efektif. Hal ini menyebabkan munculnya aturan yang tidak sesuai dengan kaidah hukum atau pembatasan nilai yang tidak relevan.
Hadi mengusulkan agar fokus utama dalam perbaikan sistem perpajakan adalah pada penyelarasan peraturan-peraturan yang ada agar lebih konsisten dan terintegrasi. Selain itu, penting juga untuk mengembangkan dan memperkuat alat monitoring yang memungkinkan otoritas pajak dapat memverifikasi pelaporan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sehingga prinsip self-assessment dapat dijalankan dengan lebih efektif dan akuntabel.
"Kalau sistem ini diterapkan, keadilan perpajakan akan terwujud. Petugas pajak tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Ini adalah kunci untuk menciptakan keadilan pajak," kata Hadi.
Dengan sistem monitoring self-assessment, transparansi yang dihasilkan memungkinkan perluasan basis pajak yang lebih akurat. Hal ini membuka peluang untuk menurunkan tarif pajak tanpa mengurangi penerimaan negara, karena basis pajak yang lebih luas tetap mampu mendukung peningkatan rasio pajak secara signifikan.
Baca Juga: Sebulan Harga Emas Antam Minus 1,95%, Hari Ini Turun (2 Desember 2024)
Dengan demikian, jika semua pembenahan telah dilakukan, tarif PPN bisa diturunkan kembali menjadi 10%, sehingga daya beli masyarakat meningkat, tanpa mengurangi penerimaan negara.
Tarif PPN yang lebih rendah juga akan membuka ruang ekonomi untuk meningkatkan konsumsi masyarakat “Bukan menaikkan tarif yang jadi solusi. Yang penting adalah SPT Wajib Pajak mampu diuji, meningkatkan kepatuhan, dan memastikan sistem pengawasan yang mampu menciptakan keadilan, transparansi, dan efisiensi,” pungkasnya.
Selanjutnya: IHSG Berpotensi Lanjut Melemah Pada Selasa (3/12), Simak Saham Pilihannya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News