MOMSMONEY.ID - Berikut ini kondisi dan emosi yang seringkali mempengaruhi seseorang berbelanja tidak sesuai kebutuhan. Kenali, yuk.
Belajar atur mental sebelum atur pengeluaran menjadi penting di tengah akses keuangan yang mudah dan cepat. Lihat saja tawaran dana dari berbagai perusahaan buy now pay later saat ini berseliweran.
Disya Arinda, Psikolog Klinis dari RS Mayapada, mengatakan, kondisi emosi, stres, dan tekanan sosial mempengaruhi cara seseorang berpikir termasuk cara mereka mengambil keputusan finansial.
Berikut ini kondisi dan emosi yang seringkali mempengaruhi seseorang berbelanja tidak sesuai kebutuhannya.
Disya bilang, dengan mengetahui kondisi dan emosi ini diharapkan masyarakat bisa lebih bertanggungjawab dalam mengeluarkan uang atau meminjam dana.
Baca Juga: Kesehatan Mental Berpengaruh dalam Mengelola Keuangan lo, Ini Faktanya
1. Emosi yang tidak disadari
Disya mengatakan perilaku konsumtif berisiko sering dipicu oleh emosi yang tidak disadari. Belanja implusif biasanya muncul saat seseorang mengalami stres, kecemasan, kesepian atau ingin mengalami dopamin hit cepat.
Salah satunya, belanja bisa memberikan relief atau kelegaan sementara, tapi efeknya tidak bertahan lama dan sering diikuti oleh rasa bersalah.
2. Tekanan sosial
Tekanan sosial memperkuat kebutuhan untuk tampil "cukup" atau "berhasil". Media sosial, standar pertemanan dan budaya komparasi dapat menciptakan ilusi kebutuhan baru.
"Social pressure dapat menyebabkan pembelian demi citra, bukan fungsi," kata Disya, Selasa (2/12).
Baca Juga: Moms Intip Insipirasi Pengalaman Pengguna Kredivo untuk Utang yang Produktif
3. Self reward
Otak dalam keadaan stres cendeurng mengambil keputusan jangka pendek. Sebab, saat stres fungsi otak yang mengendalikan keputusan rasional melemah, sementara, sistem reward menjadi lebih aktif.
Inilah alasan seseorang lebih memilih kenikmatan cepat daripada konsekuensi jangka panjang.
4. Tidak mengenali kebutuhan vs keinginan
Akar dari perilaku konsumtif adalah tidak mengenali kebutuhan VS keinginan. Disya menjelaskan, keinginan biasanya muncul dari emosi atau dorongan ekstenal (iklan, tren, promo). Sedangkan kebutuhan berakar pada fungsi dan nilai personal.
"Ketika batas keduanya tidak jelas, keputusan finansial menjadi tidak stabil," kata Disya.
Kesimpulannya, belanja implusif adalah pola yang bisa dikenali. Misalnya, membeli untuk meredakan emosi, sering menyesal setelah membeli, sulit menahan diri terhadap promo, menggunakan paylater atau kartu kredit tanpa mempertimbangkan kemampuan finansial dan adanya pikiran mumpung diskon.
Disya menegaskan, dengan menyadari tanda-tanda tersebut menjadi langkah awal perubahan terhadap finansial yang lebih bertanggung jawab.
Selanjutnya: Mobile Legends X Spongebob: Panduan Event dan Friendship Coin yang Bisa Didapatkan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News