MOMSMONEY.ID - Indonesia mendapat pengenaan tarif resiprokal sebesar 32% dari Amerika Serikat (AS).
Syuhada Arief, Senior Portfolio Manager Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), menjelaskan mengenai ketahanan Indonesia di tengah guncangan perang tarif.
Menurut Syuhada, dampak langsung tarif 32% untuk Indonesia diperkirakan terbatas. Eksposur ekspor Indonesia ke AS relatif minim (10% dari total ekspor atau 2,2% dari PDB).
"Kita lihat, negara kawasan eksposurnya lebih besar, seperti misalnya Vietnam (33% dari PDB), Malaysia (13 dari PDB), atau Thailand (13% dari PDB)," kata Syudaha dalam keterangan tertulis, Kamis (29/4).
"Jadi, walaupun tarif resiprokal AS bagi Indonesia cukup tinggi, namun tetap kompetitif dibandingkan dengan negara kompetitor perdagangan Indonesia," ujar dia.
Nah, hal ini justru menciptakan peluang bagi Indonesia untuk dapat lebih bersaing.
Di lain pihak, yang lebih krusial bagi Indonesia justru dampak tidak langsung, yang terjadi dari melambatnya pertumbuhan ekonomi global, risiko inflasi, ketidakpastian bagi dunia usaha, keyakinan konsumen, dan arah kebijakan suku bunga.
Di saat seperti ini, kemampuan negosiasi pemerintah Indonesia dengan AS juga berpotensi menjadi faktor yang menentukan selera investasi terhadap Indonesia.
Baca Juga: Kompak, Rupiah Jisdor Menguat 0,64% ke Rp 16.679 Per Dolar AS pada Rabu (30/4)
Rupiah melemah
Sepanjang tahun berjalan sampai akhir Maret lalu, rupiah melemah 2,8% terhadap dollar AS.
Mengenai potensi Bank Indonesia yang menurunkan suku bunga, Syuhada mengatakan, risiko perlambatan ekonomi global dapat memicu bank sentral global dan Bank Indonesia untuk memangkas suku bunga lebih agresif.
Secara historis, Bank Indonesia bereaksi memangkas suku bunga dalam kondisi pelemahan ekonomi global, walaupun saat itu Rupiah berada dalam tekanan. Kondisi ini pernah terjadi pada periode 2010-2012, 2014-2016, dan 2018-2020. Jadi bukan tidak mungkin.
"Tapi, kita juga harus percaya bahwa BI akan tetap waspada mencermati pertimbangan-pertimbangan lain seperti kondisi terkait negosiasi tarif, dampaknya pada wacana resesi di AS, dan bagaimana reaksi atau sinyal kebijakan moneter The Fed," kata Syuhada.
Selanjutnya: Pemerintah Percepat Hilirisasi Bauksit, ANTAM dan BAI Jadi Motor Produksi Alumina
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News