MOMSMONEY.ID - Harga emas di pasar spot anjlok sejak Selasa, setelah cetak rekor all time high sehari sebelumnya. Bagaimana nasib Bitcoin?
Penurunan harga emas pada Selasa lalu (21/10) sebesar 5%, menjadi penurunan harian terbesar dalam lebih dari lima tahun. Penurunan tersebut terjadi bersamaan ketika Bitcoin justru naik signifikan dari level US$ 107.000 menjadi US$ 113.000.
Hanya, kenaikan BTC lebih dari 5,6% dalam waktu kurang dari 24 jam tersebut, tidak bertahan lama. Bitcoin kembali terkoreksi. Pada Jumat (24/10) pukul 14.03 WIB, kripto pemegang kapitalisasi pasar terbesar ini diperdagangkan di area US$ 111.000.
Fahmi Almuttaqin, Crypto Analyst Reku, menilai pasar sempat berspekulasi bahwa tren mulai berubah menjelang potensi pemangkasan suku bunga lanjutan The Fed pada pekan depan (29/10). Data CME FedWatch Tool menunjukkan probabilitas pemangkasan suku bunga bulan ini mencapai hampir 99%, mengonfirmasi sikap dovish The Fed terhadap kondisi ekonomi global.
Ini membuat kondisi likuiditas ketat yang ada di pasar investasi saat ini, dapat segera membaik dan memberikan katalis positif bagi instrumen berisiko. "Sehingga narasi rotasi kapital dari emas ke Bitcoin sempat menarik banyak perhatian para trader dan investor kripto,” ujar Fahmi mengutip siaran pers, Rabu (22/10).
Baca Juga: Transaksi Kripo di Indonesia Tembus Rp 446,5 Triliun, Pasar Domestik Kian Dewasa
Menurut Fahmi, lantaran harga emas yang sudah melonjak tajam dalam beberapa pekan terakhir, penurunan suku bunga lanjutan dapat membuat investor memilih untuk merealisasikan keuntungan. Dananya kemungkinan akan dipindahkan ke instrumen inflation hedge yang lebih berisiko dan menawarkan potensi kenaikan menarik seiring potensi meningkatnya likuiditas, seperti Bitcoin.
Laporan Bitwise pada Senin menyebutkan, hanya dengan rotasi 2% dari total kapitalisasi pasar emas senilai US$ 17 triliun, berpotensi mendorong harga Bitcoin menembus US$ 161.000.
Saat ini, neraca keuangan The Fed (Fed balance sheet) menunjukkan belum adanya ekspansi signifikan, artinya likuiditas dollar di pasar masih ketat. Selain itu, data Treasury General Account (TGA) menunjukkan pemerintah AS masih melakukan penarikan likuiditas dari sistem perbankan ke kas negara, mempertegas kondisi pasar uang yang belum longgar.
"Meningkatnya kekhawatiran investor terhadap gejolak politik dan ekonomi global dapat berdampak signifikan terhadap volatilitas pasar, terlepas dari potensi bullish ke depan yang cukup terbuka di instrumen berisiko seperti Bitcoin,” jelas Fahmi.
Selain itu, pandangan The Fed terkait kondisi ekonomi, yang akan dipaparkan pasca-pertemuan FOMC pekan depan, juga menjadi faktor krusial yang akan diperhatikan oleh investor. Penurunan suku bunga yang diiringi oleh proyeksi kenaikan inflasi dapat membatasi katalis bullish yang dapat berkembang.
Baca Juga: Pasar Kripto Rebound, World Liberty Financial di Puncak Top Gainers 24 Jam
Kata Fahmi, dalam situasi terbuka potensi pergeseran naratif bullish/bearish, serta ketidakpastian ekonomi dan perdagangan global kembali meningkat, maka pengelolaan portofolio investasi secara lebih aktif dengan diversifikasi yang baik, berpotensi memberikan performa yang lebih optimal bagi investor atau trader profesional.
Di sisi lain, bagi investor pemula, lanjut Fahmi, strategi akumulasi bertahap seperti dollar cost averaging (DCA), menarik untuk dipertimbangkan. Dengan cara ini, investor akan mendapatkan harga rata-rata di setiap kenaikan dan penurunan harga yang terjadi. Terutama mengingat potensi bertahannya tren bullish yang ada di pasar kripto saat ini dapat dikatakan masih cukup kuat.
"Strategi DCA masih relevan dijalankan, khususnya mengingat potensi terciptanya level harga tertinggi baru bagi Bitcoin dan Ethereum masih cukup terbuka, jika pelonggaran moneter AS terjadi,” imbuh Fahmi.
Selanjutnya: Dukung UMKM, Sompo Insurance Dorong Penjualan Asuransi Kesehatan Kumpulan Bagi UMKM
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News