MOMSMONEY.ID - Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) bulan Maret 2025 merosot ke 121,1 dari sebelumnya 126,4. Pelemahan konsumsi masih terus membayangi dan menunjukkan pesimisme terhadap prospek penghasilan dan ketersediaan lapangan kerja di masa depan.
Freddy Tedja Head of Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menjelaskan dampak pelemahan IKK terhadap prospek investasi di Indonesia.
Dalam keterangan tertulis, Senin (12/5), Freddy menjelaskan, kondisi ekonomi dalam negeri masih tidak baik-baik saja. Selain IKK yang menurun, data penjualan riset selama kuartal I 2025 juga hanya tumbuh 1% dibandingkan pertumbuhan 5,6% di periode yang sama tahun 2024.
Belum lagi, pertumbuhan PDB kuartal pertama 2025 menunjukkan momentum ekonomi masih melemah, di mana perekonomian hanya tumbuh 4.87% secara tahunan, pertumbuhan terendah sejak kuartal ketiga tahun 2021 ketika Indonesia baru pulih dari pandemi.
“Data ekonomi dalam negeri masih mengecewakan, terutama karena sudah banyak kebijakan dan stimulus yang digelontorkan sejak kuartal I 2025 untuk menopang konsumsi,” kata Freddy.
Baca Juga: Warren Buffett Lebih Memilih Investasi Saham daripada Properti, Ini Alasannya
Sebut saja, kebijakan kenaikan UMR, kenaikan upah ASN, stimulus fiskal kompensasi kenaikan PPN yang tetap diberikan walaupun PPN batal naik – yang sayangnya belum membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
“Kita harus mencermati langkah-langkah dan kebijakan lanjutan yang diinisiasi pemerintah untuk menopang konsumsi,” kata Freddy.
Kementerian Keuangan menyatakan proses realokasi dan peruntukan APBN sudah diselesaikan, dan mulai kuartal kedua ini diharapkan implementasi belanja pemerintah dapat dikebut untuk menopang aktivitas ekonomi ke depan.
Harapannya, komponen belanja pemerintah di kuartal-kuartal berikutnya tidak lagi terkontraksi seperti yang terjadi di kuartal pertama (turun 0.08%, dibandingkan pertumbuhan 4.17% di kuartal terakhir 2024), dan menciptakan efek berantai pada pertumbuhan ekonomi keseluruhan.
Katalis lain yang bisa diharapkan ekonomi Indonesia dalam jangka pendek menengah bisa naik, menurut Freddy adalah win-win tariff negotiation, stabilitas Rupiah, penurunan BI Rate, akselerasi belanja pemerintah, dan stabilitas harga minyak dunia. Kelima hal ini saling terkait dan berhubungan.
Kepastian tingkat tarif di level yang wajar antar mitra perdagangan akan menghilangkan faktor ketidakpastian di pasar, dan yang lebih penting dapat mengurangi tekanan pada pertumbuhan ekonomi. Redanya perang tarif diharapkan dapat membuat nilai tukar rupiah kembali stabil, dan jika stabilitas rupiah sudah tercapai, diharapkan Bank Indonesia dapat lebih leluasa melakukan pelonggaran moneter untuk menurunkan suku bunga, sesuai komunikasinya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga: Baru Kuartal Dua, SBN Bisa Tembus Target! Ekonom: Bahaya Buat Likuiditas!
Percepatan eksekusi belanja pemerintah juga dapat menciptakan efek berantai pada aktivitas ekonomi. Terakhir, ekspektasi perlambatan ekonomi dunia diharapkan membuat fluktuasi harga minyak lebih terkendali dengan tren menurun. Hal ini dapat berdampak positif untuk APBN, karena berdasarkan postur anggaran, dampak penurunan harga minyak bagi penerimaan negara masih lebih kecil dibandingkan penghematan yang tercipta dari belanja subsidi BBM.
Untuk kelas aset obligasi, beberapa faktor terpenting yang menentukan minat investor adalah persepsi risiko kredit, stabilitas nilai tukar, dan arah suku bunga. Dari potensi-potensi katalis yang telah kami sampaikan, dapat disimpulkan daya tarik pasar obligasi saat ini masih tetap tinggi.
Peluang dan urgensi penurunan suku bunga terlihat semakin terbuka, nilai tukar Rupiah mulai stabil, penilaian terakhir dari dari Fitch & Moody’s bulan Maret lalu juga tetap mengafirmasi sovereign rating Indonesia di kategori layak investasi ‘BBB’ dengan outlook stabil. Inilah yang membuat minat investor domestik tetap kokoh, dan minat investor asing pun relatif terjaga dengan arus masuk bersih tahun berjalan mencapai USD1.26 miliar, dibandingkan arus keluar USD2.73 miliar di periode yang sama tahun 2024 lalu.
Sementara itu di kelas aset saham, setelah empat bulan terakhir mengalami volatilitas ekstrem diakhiri koreksi tajam, perkembangan-perkembangan global terkini membuat kinerja pasar saham melejit kembali, walaupun kesinambungannya masih terlihat rentan. Eksekusi kebijakan pro pertumbuhan dan transisi belanja pemerintah yang tepat sasaran sangat kita harapkan untuk dapat mendorong konsumsi dan daya beli masyarakat, dan pada akhirnya memperbaiki kinerja korporasi.
Potensi pemangkasan suku bunga, walaupun dampaknya tidak seinstan seperti pada pasar obligasi, diharapkan dapat semakin mendorong stabilitas dan kesinambungan kinerja pasar saham jangka panjang, terutama karena iklim suku bunga tinggi merupakan salah satu faktor utama yang menekan performa korporasi dan sentimen pasar.
Terakhir, meningkatnya daya tarik pasar Asia di tengah melemahnya supremasi AS diharapkan sedikit banyak dapat berimbas baik juga ke pasar saham Indonesia.
Selanjutnya: Tips Cerdas Hilangkan Noda Air Sadah di Kamar Mandi untuk Desain Rumah Modern
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News