MOMSMONEY.ID - Banyak dibicarakan belakangan ini. Apa itu quiet covering dalam dunia kerja sebenarnya? Cari tahu di sini, yuk!
Di era kerja modern, istilah baru terus bermunculan untuk menggambarkan cara orang menghadapi tuntutan profesional.
Setelah quiet quitting dan quiet hiring sempat ramai dibicarakan, kini ada fenomena lain yang banyak dilakukan, terutama oleh generasi muda di kantor, yakni quiet covering.
Istilah ini mungkin terdengar asing, namun kenyataannya, praktik ini sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari para pekerja.
Lantas, apa itu quiet covering sebenarnya? MomsMoney akan membahasnya di sini. Simak, yuk!
Baca Juga: Susah Mencari Kerja? Coba 10 Tips Mendapatkan Pekerjaan yang Efektif
Apa itu quiet covering?
Quiet covering adalah kebiasaan karyawan yang cenderung menyembunyikan sisi pribadi mereka di tempat kerja. Tujuannya adalah untuk menghindari penilaian, stereotip, dan agar terlihat lebih profesional atau pantas dipromosikan.
Melansir dari laman Forbes, sebuah survei Attensi terhadap 2.000 karyawan lintas industri dan usia menemukan bahwa 58% karyawan menutupi keterampilan atau kelemahan mereka agar tidak dinilai buruk.
Bahkan, hampir separuh responden mengaku pernah berpura-pura paham tentang suatu hal dan 40% memilih tidak meminta bantuan meski tidak tahu cara melanjutkan pekerjaan.
Konsep ini awalnya dikemukakan oleh Profesor Kenji Yoshino, yang mendefinisikan covering sebagai tindakan menyembunyikan atribut pribadi untuk menghindari diskriminasi, penilaian, atau stereotip.
Dampak quiet covering
Sebagian orang mungkin pernah melakukannya dan dalam kadar tertentu hal ini wajar. Menyesuaikan diri dianggap bagian dari kecerdasan emosional dan kemampuan beradaptasi. Tapi jika dilakukan berlebihan, quiet covering bisa memicu stres, kelelahan, rasa terasing, bahkan menurunkan kinerja.
Data dari studi Hu-X x Hi-Bob menunjukkan:
- 97% karyawan pernah melakukan quiet covering,
- 67% melakukannya cukup sering.
Alasannya beragam, mulai dari menjaga citra profesional (55%), mencari penerimaan sosial (48%), menghindari diskriminasi (46%), hingga meningkatkan peluang kenaikan gaji atau promosi (46%).
Banyak karyawan menyembunyikan identitas dari atasan langsung atau pimpinan senior. Misalnya, ada yang menutupi usia karena merasa paling tua di tim, ada yang menyembunyikan orientasi seksual, hingga ada yang berbohong soal vaksinasi Covid-19 agar tidak dipandang negatif.
Baca Juga: Bisa Terapkan Work Life Balance, Ini 5 Keuntungan Pilih Kerja Remote
Quiet covering di kalangan Gen Z
Gen Z membawa dinamika baru ke dunia kerja. Menurut studi Hu-X x Hi-Bob, mereka dua kali lebih sering dibanding generasi boomer untuk menutupi bagian dari identitas mereka, bahkan dalam percakapan dengan HR.
Hampir setengah dari Gen Z memilih menyembunyikan masalah kesehatan mental, kebiasaan merawat diri, atau pengalaman pribadi demi terlihat profesional.
Gen Z, kata Katz, bukanlah generasi yang terlalu sensitif. Mereka justru sedang menanggung beban perubahan sosial besar. Mereka menekan sisi pribadi agar selaras dengan norma kantor tradisional, tapi hal itu memakan energi besar.
Lama-lama, kondisi ini bisa menghambat kreativitas, memperlambat karier, dan merusak rasa percaya diri.
Konsekuensi quiet covering
Studi Hu-X x Hi-Bob menemukan tujuh dampak utama dari quiet covering di kalangan Gen Z:
- Menyebabkan stres sedang hingga berat (64%)
- Mengurangi produktivitas (54%)
- Menghambat perkembangan karier (40%)
- Mengurangi keterlibatan (56%)
- Memengaruhi kehidupan pribadi (43%)
- Membatasi kreativitas (55%)
- Menurunkan kinerja (47%)
Penelitian lain bahkan menemukan bahwa banyak Gen Z menggunakan AI untuk pekerjaan sehari-hari secara diam-diam, karena khawatir akan dinilai negatif atau digantikan teknologi.
Baca Juga: 3 Tips Penting Sebelum Memutuskan Kerja di Luar Negeri
Apa yang bisa dipelajari perusahaan?
Katz menegaskan bahwa quiet covering adalah sinyal penting, bukan sekadar resistensi. Gen Z ingin punya kendali atas apa yang mereka bagikan di tempat kerja tanpa takut konsekuensi. Mereka ingin dihargai atas kontribusi nyata, bukan karena seberapa baik mereka mengikuti pola lama.
Jika perusahaan terus melihat keaslian sebagai kelemahan, maka yang hilang bukan hanya kreativitas dan inovasi, tetapi juga keterlibatan dan retensi karyawan.
“Energi yang seharusnya digunakan untuk hadir dan berkarya habis untuk mengelola persepsi,” kata Katz. “Itu bukan hanya melelahkan, tapi juga tidak berkelanjutan,” tambahnya.
Jadi, apa itu quiet covering? Quiet covering adalah strategi yang banyak dilakukan karyawan untuk menyembunyikan sisi pribadi mereka demi terlihat profesional dan aman dari penilaian negatif.
Praktik ini sering dipicu oleh tekanan budaya kerja yang menuntut kesempurnaan dan keseragaman. Meski bisa membantu sesaat, quiet covering berisiko menurunkan keterlibatan, kreativitas, dan kesejahteraan karyawan dalam jangka panjang.
Selanjutnya: Update Ranking FIFA Timnas Futsal Indonesia, Urutan Berapa Sekarang?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News