MOMSMONEY.ID - Quick Response Code Indonesian Standard atau QRIS menunjukkan perkembangan signifikan sejak diluncurkan pada 2019. Data Bank Indonesia (BI) mencatat lonjakan volume transaksi QRIS sebesar 169,15% pada kuartal I-2025 secara tahunan (year-on-year).
Pertumbuhan ini mencerminkan tingginya antusiasme masyarakat terhadap transaksi digital yang lebih cepat dan mudah, serta mendorong inklusi keuangan di sektor mikro.
Namun, di tengah lonjakan adopsi QRIS, muncul tantangan serius dalam bentuk kejahatan siber. Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mencatat, lebih dari 32.000 kasus kejahatan siber sejak 2022 hingga awal 2025.
Salah satu modus yang berkembang adalah QR phishing atau quishing, di mana pelaku memanipulasi kode QR untuk mengelabui pengguna agar menyerahkan data pribadi atau dana.
Kasus terbaru yang viral melibatkan kerugian Rp 68 juta akibat pemindaian QR palsu, menjadi contoh nyata bahwa ancaman ini bisa berdampak langsung pada konsumen.
Selain kerugian finansial, risiko reputasi bagi lembaga keuangan dan pelaku usaha juga menjadi perhatian serius di era ekonomi digital yang semakin kompleks.
Hanief Bastian, Regional Technical Head dari ManageEngine Indonesia, menekankan, sistem keamanan siber harus menjadi prioritas utama dalam menjaga kepercayaan publik terhadap pembayaran digital.
Baca Juga: LinkAja Targetkan Transaksi QRIS Tumbuh 10% pada 2025
"Serangan terhadap sistem pembayaran digital seperti QRIS bukan hanya persoalan teknis, tetapi menyangkut kepercayaan publik dan reputasi lembaga keuangan,” ujarnya dalam keterangan tertulis Senin (7/7).
Menurut Hanief, teknologi seperti SIEM dan UEBA dapat membantu perusahaan mendeteksi anomali secara real-time, misalnya, aktivitas mencurigakan atau akses tidak sah.
Ia menambahkan, solusi seperti Log360 dan Identity360 juga dapat memperkuat pemantauan log transaksi dan kontrol identitas secara menyeluruh. "Organisasi perlu membangun pertahanan yang adaptif dan berbasis data," tambahnya.
Penerapan arsitektur zero-trust dan pemenuhan terhadap regulasi seperti ISO 27001, PCI DSS, serta UU Perlindungan Data Pribadi (PDP), menurut Hanief, menjadi langkah wajib bagi penyedia jasa keuangan
"Institusi kini tidak punya pilihan selain memastikan setiap akses divalidasi dan dilengkapi kontrol identitas yang ketat," katanya.
Selain solusi teknologi, Bank Indonesia dan ASPI turut menekankan pentingnya edukasi publik. Kampanye literasi digital digalakkan untuk meningkatkan kesadaran konsumen terhadap risiko transaksi digital. Hanief menilai kolaborasi ini penting.
"Gabungan antara kesadaran konsumen dan pemantauan sistem otomatis adalah kombinasi terbaik dalam melindungi transaksi digital," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News