MOMSMONEY.ID - Jumlah perempuan yang bekerja hingga memiliki karier tinggi terus meningkat. Meski begitu, upaya memberdayakan wanita di semua sektor secara menyeluruh harus terus digalakkan. Tujuannya, untuk mempercepat potensi pertumbuhan ekonomi yang maksimal.
Berbicara pemberdayaan perempuan, tidak bisa lepas dari isu ketimpangan gender yang masih belum hilang. Bagaimana tidak? Meski jumlah perempuan yang bekerja dan berkarir meningkat, angkanya masih kalah dibanding jumlah laki-laki yang bekerja dan berkarier.
Berdasarkan survei yang kantor berita Associated Press (AP) lakukan terhadap 341 pemimpin perusahaan, Senin (3/6), sebanyak 25 orang di antaranya adalah CEO perempuan. Jumlah ini memang jadi yang paling banyak sepanjang survei serupa mulai 2011. Sebelumnya, jumlah perempuan CEO yang tercatat di survei 2017 cuma 21 perempuan.
Christy Glass, Profesor Sosiologi di Utah State University, mengutip AP, mengatakan, jumlah perempuan CEO di tahun ini yang meningkat merupakan hal positif. Tapi, secara keseluruhan, tren it masih mengecewakan karena proporsi antara jumlah pria dan wanita dalam posisi tertinggi di perusahaan masih tidak seimbang.
Center for Creative Leadership (CCL), penyedia pendidikan eksekutif global juga mengeluarkan riset tentang tantangan yang masih ada dan menghambat perempuan dalam mencapai peran senior. Riset dari 894 responden dan 71 orang yang diwawancarai di seluruh Asia Pasifik ini, juga menjelaskan kesenjangan persepsi antara laki-laki dan perempuan.
Riset CCL mengungkapkan meskipun ada fokus yang semakin besar pada pengembangan kepemimpinan perempuan, kesenjangan yang signifikan tetap ada dalam representasi mereka di jabatan tertinggi di sektor swasta dan publik.
Kesenjangan ini tidak disebabkan oleh kurangnya perempuan yang memasuki jalur karir, melainkan merupakan masalah kesetaraan. Bias yang tidak disadari terus menciptakan hambatan tersembunyi yang menghalangi kemajuan perempuan, sehingga mengakibatkan hilangnya talenta yang berharga dan hilangnya kesempatan untuk meningkatkan potensi penuh tenaga kerja.
Baca Juga: Bisnis Operasi Plastik yang Selalu Cantik
Laporan ini juga mengungkapkan kesenjangan yang mengkhawatirkan dalam persepsi kesetaraan gender antara pria dan perempuan. Meskipun 68% pemimpin percaya bahwa ada kesempatan pengembangan yang setara bagi pria dan perempuan (lapisan permukaan), analisis lebih dalam mengungkapkan cerita yang berbeda. Sebanyak 55% pemimpin mengakui adanya kesenjangan gaji berdasarkan gender di banyak tempat kerja (lapisan kedua), dan 42% pemimpin mengakui adanya pelecehan gender (lapisan yang lebih dalam). Temuan ini menyoroti area di mana kemajuan signifikan diperlukan untuk menciptakan lingkungan kerja yang benar-benar adil.
Seiring semakin banyaknya perempuan yang keluar atau memilih keluar dari pekerjaan karena sistem ketidakadilan di tempat kerja, organisasi harus mengatasi kesenjangan yang tidak terlihat dan menilai faktor-faktor yang menghambat kemajuan para pemimpin perempuan.
Laporan ini mengidentifikasi 5 faktor utama yang menghambat pertumbuhan pemimpin perempuan, dengan faktor utama adalah harapan masyarakat terhadap perempuan untuk mengambil tanggung jawab keluarga lebih banyak, seperti yang dilaporkan oleh 66% pria dan 78% perempuan.
"Kurangnya keterwakilan perempuan di tingkat puncak menunjukkan adanya hambatan tersembunyi yang menghambat kemajuan mereka," kata Elisa Mallis, Managing Director dan Vice President APAC, CCL dalam keterangan tertulis.
Hambatan tersebut sering berasal dari bias, mencakup ekspektasi masyarakat yang sudah dalam dan hambatan sistemik yang tidak kita sadari dan tidak terlihat secara langsung. Mengatasi kesenjangan gender dalam kepemimpinan membutuhkan kolaborasi dari laki-laki, perempuan, dan organisasi untuk menghadapi ketidakadilan ini. Ini tidak hanya tentang keadilan, tetapi juga tentang mengoptimalkan potensi penuh dari semua sumber daya manusia untuk menciptakan masa depan yang lebih kuat dan lebih berkelanjutan bagi semua orang.
Selain itu, perempuan sering dinilai menggunakan standar kepemimpinan yang lebih cenderung ‘maskulin’, yang mengakibatkan pilihan mereka menjadi terbatas dan kurang menguntungkan, meskipun perilaku dan kinerja mereka sebagai pemimpin sudah sesuai.
Dengan semakin banyaknya rumah tangga di Asia yang memiliki karier ganda, perempuan sering kali merasa terjebak dalam situasi "Kebuntuan Ganda" (Double-Bind). Ketika mereka mematuhi peran tradisional yang dikaitkan dengan gender, mereka sering kali dianggap “tidak cocok sebagai pemimpin”.
Sebaliknya, jika mereka menyesuaikan diri dengan peran kepemimpinan, sering kali mereka dianggap “tidak menjalankan peran perempuan dengan baik”. Akibatnya, banyak perempuan cenderung melakukan "Fleksibilitas Ganda" (Double-Flex), yaitu mengkompensasi dengan mengambil terlalu banyak tanggung jawab di tempat kerja dan di rumah. Ini bisa menyebabkan kelelahan dan pada akhirnya membuat banyak perempuan memilih untuk tidak mengambil satu peran kunci.
Fenomena "Double-Bind" dan "Double-Flex" sebagian besar dipengaruhi oleh persepsi masyarakat. Di Indonesia, 73% perempuan setuju bahwa harapan sosial menghambat mereka untuk menjadi pemimpin senior, dengan 60% pria yang setuju.
Di Singapura, sementara 80% perempuan setuju bahwa harapan sosial merupakan penghalang, hanya 35% pria yang merasakan hal yang sama. Hal ini menyoroti ketimpangan dalam pengakuan terhadap hambatan-hambatan sosial antara gender, terutama di Singapura.
Riset ini pun mengungkapkan apa yang harus semua lakukan agar perempuan sukses dalam posisi kepemimpinan. Jadi, laki-laki, perempuan, dan organisasi harus bersama-sama menjadi bagian dari solusi. Peran yang dimainkan oleh laki-laki dan perempuan saling terkait erat, dan hanya dengan pendekatan terpadu maka akan mewujudkan perubahan yang nyata.
Organisasi juga perlu menciptakan budaya yang merangkul keragaman, memberikan kesempatan pengembangan profesional bagi perempuan, dan menerapkan proses sumber daya manusia yang netral gender.
Baca Juga: Larangan Penggunaan Hijab Bagi Atlet Perempuan Prancis Menuai Kontroversi
Organisasi didorong untuk melampaui kuota dan target dengan mengukur partisipasi perempuan secara lebih holistik, melibatkan sekutu laki-laki, dan merayakan para pendukung kesetaraan gender.
Laporan ini juga memberdayakan perempuan secara individu untuk mengambil kendali atas karier mereka dengan memperjuangkan otonomi dan peluang pertumbuhan, membangun jaringan yang lebih kuat, dan berbicara menentang hambatan-hambatan sistemik.
Upaya bersama dari organisasi dan individu ini akan membuka jalan bagi lanskap kepemimpinan yang lebih inklusif, mendukung pengembangan kepemimpinan perempuan, dan pada akhirnya memungkinkan kesuksesan mereka dalam posisi kepemimpinan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News