MOMSMONEY.ID - Volatilitas cukup tinggi mengguncang pasar aset kripto beberapa hari terakhir. Dua peristiwa makroekonomi penting, yaitu kenaikan suku bunga acuan Jepang dan rilis data inflasi CPI Amerika Serikat (AS) bulan November, menimbulkan sentimen beragam di pasar.
Bank of Japan (BoJ) memutuskan kembali menaikkan suku bunga acuan ke level 0,75%, melanjutkan kenaikan sebelumnya pada Januari lalu. Level tersebut menjadi yang tertinggi dalam 30 tahun terakhir dan menandai berlanjutnya fase pengetatan kebijakan moneter Jepang.
Di sisi lain, data inflasi CPI AS menunjukkan inflasi tahunan mereda di angka 2,7%, jauh di bawah ekspektasi para ekonom yang memperkirakan inflasi November menyentuh 3,1%. Data ini menjadi laporan inflasi pertama yang diterima investor sejak berakhirnya government shutdown AS bulan lalu.
Sementara itu, inflasi inti AS yang tidak memasukkan komponen harga pangan dan energi tercatat naik 2,6% secara tahunan.
Baca Juga: Daftar 5 Kripto Top Gainers, LEO Memimpin dengan Naik 17%
Crypto Analyst Reku, Fahmi Almuttaqin, mengatakan bahwa meredanya inflasi CPI AS ini membuka ruang untuk penurunan suku bunga yang lebih agresif tahun depan, akan tetapi banyak pihak saat ini meragukan validitas dari data tersebut.
The Fed mungkin masih akan melakukan pemantauan lebih lanjut untuk rilis data yang akan datang, khususnya data inflasi PCE, yang mereka gunakan sebagai acuan.
“Kondisi ini memberikan sentimen positif yang terbatas di pasar kripto, terlebih dengan adanya kenaikan suku bunga Jepang yang cenderung memberikan tekanan tambahan,” kata Fahmi mengutip siaran pers, Jumat (19/12).
Fahmi menjelaskan, kenaikan suku bunga Jepang berdampak langsung pada strategi yen carry trade, yang selama ini menjadi salah satu sumber likuiditas global. Strategi tersebut melibatkan peminjaman yen dengan suku bunga rendah untuk diinvestasikan ke aset berimbal hasil lebih tinggi seperti saham, obligasi, maupun kripto.
Ketika suku bunga Jepang naik, strategi yen carry trade menjadi kurang menarik. "Investor cenderung melikuidasi posisi mereka di aset berisiko, termasuk saham dan kripto, untuk menutup kewajiban pinjaman dalam yen. Kondisi ini secara historis sering kali menekan pasar kripto,” jelasnya.
Baca Juga: Harga Emas Hari Ini Fluktuatif, Mendekati Rekor All Time High
Secara historis, korelasi antara pengetatan kebijakan BoJ dan tekanan harga Bitcoin terlihat cukup signifikan. Pada Maret 2024, Bitcoin sempat terkoreksi
sekitar 23% setelah kenaikan suku bunga Jepang. Tekanan serupa kembali terjadi pada Juli 2024 dengan penurunan sekitar 26%, serta pada Januari 2025 ketika Bitcoin turun hingga 31% menyusul sinyal pengetatan lanjutan.
Mengacu pada pola historis tersebut, Fahmi menilai, tekanan di pasar kripto berpotensi bertahan dalam beberapa pekan ke depan. Meski demikian, ia menegaskan bahwa tren bullish jangka panjang pasar kripto secara fundamental masih terlihat solid.
Volatilitas yang tinggi di fase seperti ini, menurut Fahmi, justru dapat menjadi momentum akumulasi bagi investor jangka panjang, terlebih apabila inflasi AS ternyata memang sudah benar-benar cooling down.
Di sisi lain, bagi trader, kondisi pasar yang fluktuatif juga membuka peluang trading yang menarik. "Selama tetap memperhatikan manajemen risiko, volatilitas dapat dimanfaatkan untuk mengoptimalkan potensi return dengan pengelolaan portofolio investasi secara lebih aktif,” saran Fahmi.
Selanjutnya: IHSG Turun 0,10% di Akhir Pekan, Asing Net Buy Rp 2,67 Triliun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News