MOMSMONEY.ID - Saat debat calon wakil presiden, Minggu (21/1), dalam sesi tanya jawab antar calon wakil presiden, Gibran Rakabuming Raka menanyakan kebijakan apa yang akan dilakukan Mahfud MD soal greenflation. Lalu, apa itu greenflation
Seperti diketahui, ketergantungan manusia pada energi fosil saat ini sudah dianggap sebagai bahaya yang mengancam bumi.
Melansir laman Europe Central Bank (ECB), bahkan penggunaan energi fosil sudah dianggap sebagao ancaman terhadap keamanan nasional, kebebasan dan demokrasi.
Baca Juga: Pecah Rekor! NASA Mencatat Tahun 2023 Jadi Tahun Terhangat Sepanjang Sejarah
Salah satu tugas mengatasi ancaman ini adalah mempercepat transisi menuju energi terbarukan. Misalnya, menggunakan panel surya untuk listrik pengganti penggunaan batu bara, membangun pembangkit tenaga air dan tenaga air.
Ini bisa menjadi upaya kita bebas dari ketergantungan fosil dan menghasilkan ekonomi yang lebih hijau.
Sehingga, dalam melakukan transisi ke energi terbarukan, diperlukan investasi pada teknologi dan fasilitas baru. Tidak gratis, ada harga yang perlu dibayar untuk jadi lebih ramah lingkungan.
Selagi membangun ekonomi yang berkelanjutan, maka kita akan menghadapi era baru yaitu inflasi energi.
Dalam artikelnya, ECB menjelaskan era baru inflasi energi ada tiga, yakni climmateflation, fossilfation, dan greenflation.
Climmateflation adalah ada kenaikan harga karena perubahan iklim dan adanya cuaca buruk yang ekstrem. Misalkan, kekeringan di sebagian besar dunia membuat harga bahan pangan naik.
Baca Juga: 4 Manfaat Mengonsumsi Alpukat Setiap Hari, Bisa Kurangi Risiko Penyakit Jantung
Fossilfation adalah kondisi kenaikan harga bahan bakar fosil (minyak dan gas). Salah satu faktornya adalah karena upaya mengatasi perubahan iklim yang juga membuat kerusakan lingkungan jadi lebih terlihat.
Di sisi lain, banyak investor yang mengurangi penggunaan energi fosil sehingga biaya pendanaan naik dan produksi minyak mentah jadi lmelambat.
Nah, lalu apa itu greenflation? Greenflation adalah kenaikan harga yang terjadi karena tingginya permintaan mineral untuk mengurangi emisi karbon tidak diimbangi dengan jumlah pasokan yang terbatas.
Singkatnya, saat ini banyak perusahaan mulai beradaptasi dengan mengurangi emisi karbon dalam proses produksinya. Teknologi hijau ini membutuhkan sejumlah besar logam dan mineral seperti tembaga, litium dan kobalt dalam masa transisi.
Mobil listrik, misalnya, membutuhkan enam kali lebih banyak mineral dibandingkan kendaraan konvensional. Pembangkit listrik tenaga air juga membutuhkan tujuh kali lebih banyak logam dibanding pembangkit listrik tenaga gas.
Baca Juga: Ini 5 Tanda Anda Harus Segera Move On dari Mantan Tersayang
Sehingga upaya dekarbonisasi ini akan membuat permintaan logam dan mineral semakin tinggi di masa depan. Sayangnya, dari sisi suplai masih terbatas karena membutuhkan 5-10 tahun untuk membangun tambang baru.
Sehingga, ini membuat harga komoditas penting meningkat dalam beberapa bulan. Hal ini kemudian disebut sebagai greenflation.
Sehingga, kondisi ini menyebabkan paradoks dalam membangin krisis iklim yaitu semakin cepat dan penting bagi kita transisi ke ekonomi hijau maka semakin mahal biaya yang akan dikeluarkan.
Namun, sejauh ini greenflation meiliki dampak jauh lebih kecil kepada konsumen akhir dibandingkan fossilfation.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News