MOMSMONEY.ID - Kesulitan memperoleh Benih Bening Lobster (BBL) yang dikeluhkan para pembudidaya juga dialami perusahaan joint venture Indonesia-Vietnam. Sehingga tidak tepat menuding keberadaan kelima perusahaan joint venture tersebut sebagai penyebab melonjaknya harga dan kelangkaan BBL. “Saat ini kami juga sedang kesulitan memperoleh pasokan BBL. Pertanyaannya bila pembudidaya non-joint venture dan joint venture kesulitan memperoleh BBL, pasokan yang ada lari kemana? Penelusuran tim kami di lapangan BBL itu disalurkan ke pasar gelap untuk diselundupkan,” kata PR Manager PT Ratuworld Aquaculture International, Nayla Azmi, di Jakarta, Minggu (21/7).
Asal tahu saja, pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 7/2024 yang mengizinkan pembudidayaan di luar wilayah Indonesia. Saat ini terdapat lima perusahaan joint venture Indonesia-Vietnam yang telah mengantongi izin dengan skema kerja sama antar Pemerintah (G to G). Perusahaan-perusahaan tersebut adalah PT Idovin Aquaculture International, PT Mutagreen Aquaculture International, PT Idichi Aquaculture International, PT Ratuworld Aquaculture International, dan PT Gajaya Aquaculture International.
Baca Juga: KKP Janji Mengungkap Aktor Penyelundupan Benur
Kelima perusahaan joint venture berkomitmen untuk mendorong Indonesia menjadi bagian penting dari rantai pasok lobster dunia. Perwujudan dari komitmen tersebut antara lain dengan membangun tempat budidaya yang menggunakan teknologi aquatech berskala Industri pertama di Indonesia. Lokasi budidaya tersebut berada di lahan seluas 10 hektar di Jembrana, Bali. Selain itu, dibangun pula warehouse berstandar internasional di Tangerang Banten.
Setiap mengirimkan BBL ke Vietnam untuk budidaya, perusahaan joint venture harus membayar biaya pelayanan sebesar Rp3.000 per ekor BBL. Pungutan tersebut menjadi pemasukan negara yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan industri perikanan nasional, termasuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan menggerakkan ekonomi setempat.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat, sejak awal tahun 2024 terdapat delapan kasus penyelundupan BBL telah digagalkan aparat. Dari delapan kasus tersebut, terdapat 982.025 ekor BBL yang diselamatkan dan disita negara. “Dengan potensi hampir 400 juta ekor tersedia setiap tahunnya, mengherankan jika terjadi kelangkaan BBL. Penegakan hukum yang tegas menjadi kunci memberantas penyelundupan BBL,” ujar Nayla.
Baca Juga: KKP Klaim Kantongi Nama Aktor Penyelundupan Benih Bening Lobster (BBL)
Penerapan Undang-undang Perikanan terhadap persoalan di atas, dinilai tidak sesuai dengan tindak pidana yang terjadi dan mens rea dari para pelakunya. Lebih tepat dan akan menghadirkan kepastian hukum, apabila untuk mengatasinya diterapkan Undang-undang Kepabeanan. Lebih dari itu, pasar gelap BBL yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun membentuk jaringan yang mengakar. Oleh sebab itu, penegakan hukum tidak boleh hanya menyasar pelaku lapangan tetapi hingga pemodal, di mana pemerintah bisa menjerat mereka dengan Undang-undang TPPU.
“Kelangkaan BBL yang terjadi saat ini menjadi bukti bahwa keberadaan penyelundupan merugikan semua pihak. Untuk keadilan, aparat penegak hukum dapat menerapkan tidak hanya follow the suspect melainkan follow the money,” kata Nayla.
Baca Juga: KKP: Pendapatan Negara dari Budidaya Lobster Mencapai Rp 3,6 Miliar
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News