MOMSMONEY.ID - Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) mengatakan volatilitas terkait kebijakan Donald Trump yang berubah-ubah dengan cepat, menjadi pemicu volatilitas pasar jangka pendek menengah.
Samuel Kesuma Chief Investment Officer Equity MAMI menuturkan bahwa pasar khawatir akan kebijakan-kebijakan Donald Trump yang bersifat inflationary, dan dijanjikan akan diimplementasikan segera dan serentak.
Namun sejauh ini, banyak “day one promises” tersebut berubah, dan atau setidaknya akan diimplementasikan secara bertahap. Pengenaan tarif 25% terhadap Kanada dan Meksiko ditangguhkan sementara, dan hanya berlaku untuk komoditas tertentu.
Terhadap China pengenaan tarif 60% diubah sejauh ini menjadi 10%. "Negosiasi antara pihak-pihak terkait terus berlangsung, memperkuat narasi bahwa pemerintahan Donald Trump masih terbuka terhadap dialog dan negosiasi untuk mencapai win-win situation," kata Samuel dalam keterangan tertulis, Selasa (18/2).
Pengumuman kebijakan Trump juga tentu berdampak pada sulitnya The Fed memproyeksikan inflasi dengan kecenderungan dovish dalam beberapa waktu belakangan.
Pada FOMC meeting 9 Januari 2025, secara gamblang Fed Chairman Jerome Powell menyatakan bahwa The Fed ‘is in the mode of waiting to see what policies are enacted’. Di depan Kongres bulan Febuari ini, Powell menyatakan belum akan terburu-buru menurunkan suku bunga.
Baca Juga: Menakar Dampak Kebijakan Tarif Impor AS Terhadap Ekonomi Global dan Indonesia
Walaupun ‘Trump factor’ tentu masuk ke dalam pertimbangan, Samuel memperkirakan alasan The Fed saat ini mengerem pemangkasan suku bunga, setelah 3 kali berturut-turut melakukan pemangkasan pada 2024, adalah untuk mengkaji ulang dampaknya pada perekonomian dan pertumbuhan, sambil terus memantau kondisi ketenagakerjaan dan inflasi.
The Fed sangat mengerti, bahwa penurunan yang terlalu cepat dapat meningkatkan kembali inflasi, namun penurunan yang terlalu lambat juga dapat berdampak buruk pada ekonomi.
"Secara keseluruhan, kami tetap percaya bahwa inflasi Amerika Serikat masih menurun, namun laju penurunannya yang belum stabil, mengakibatkan bank sentral juga harus peka menyeimbangkan kebijakannya," beber Samuel.
Sementara, outlook nilai tukar dollar AS diperkirakan tetap cenderung stabil kuat dalam jangka pendek, dipicu oleh antisipasi pasar terhadap kebijakan lanjutan Donald Trump yang cenderung berubah-ubah. Selain itu, komentar-komentar terkini dari The Fed yang lebih hawkish dari sebelumnya juga mempengaruhi dollar AS.
Ekspektasi pemangkasan suku bunga bank sentral negara maju lain yang diperkirakan lebih agresif dari The Fed, secara relatif memperkuat daya tarik dollar AS.
Kondisi-kondisi di atas membuat pasar memperkirakan di awal tahun ini Bank Indonesia (BI) belum akan menurunkan BI Rate, sehingga pemangkasan 25 bps ke level 5,75% di bulan Januari kemarin cukup mengejutkan pasar.
Di lain pihak, BI juga menyatakan level rupiah saat ini sudah sejalan dengan fundamentalnya, di mana pelemahan rupiah sejalan dengan penguatan USD, dan bahkan lebih baik dari kinerja mata uang beberapa negara maju.
Baca Juga: Harga Emas Naik di Tengah Pelemahan Dolar dan Ancaman Tarif Trump
Walau demikian, usaha stabilisasi rupiah akan terus dijalankan melalui intervensi di pasar spot dan DNDF, serta pasar SBN. Selain itu pemerintah juga akan menerbitkan peraturan yang mewajibkan penempatan 100% devisa hasil ekspor (DHE) di dalam negeri selama setahun. Nilai tukar rupiah di kisaran Rp 16.000 per dollar AS dalam jangka pendek ini tampaknya akan menjadi ekuilibrium baru.
Masih mengenai situasi domestik, rilis PDB terbaru menunjukkan perekonomian 2024 tumbuh 5,03%, dibandingkan 2023 sebesar 5,05% dan 2022 sebesar 5,31%. Penurunan dua tahun berturut-turut ini cukup membuat pasar khawatir.
Pemulihan pasca pandemi yang belum merata masih membayangi ekonomi Indonesia, tercermin dari pertumbuhan penjualan ritel yang lemah dan indeks keyakinan konsumen yang belum pulih ke level pra-pandemi di segmen masyarakat dengan tingkat konsumsi terendah.
Positifnya, kondisi ini terlihat sangat diperhatikan pemerintah dan menjadi fokus pada awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Contohnya, frontloading kebijakan populis dan guyuran stimulus diimplentasikan di kuartal pertama 2025 ini (kenaikan UMR yang lebih tinggi dari ekspektasi, pembatalan kenaikan PPN yang sebelumnya sudah menjadi Undang-Undang, paket stimulus ad hoc senilai Rp 38 triliun, pemangkasan BI Rate) untuk mendorong pertumbuhan.
Tak dapat disanggah, MAMI belum dapat memastikan efektivitas booster-booster ekonomi tersebut, apalagi di tengah potensi melemahnya perdagangan dunia akibat perang tarif. Kami mengharapkan pemerintah terus mengawal dan mendukung pertumbuhan dengan kebijakan-kebijakan lanjutan, jangan hanya difokuskan di kuartal pertama ini saja.
Konsumsi dan daya beli yang lemah seperti tercermin pada pertumbuhan PDB membuat pasar saham juga terbawa lesu. Belum lagi kemenangan Donald Trump yang membuat saham-saham AS diburu membuat arus dana keluar dari pasar negara berkembang membuat mata uang melemah dan sebaliknya dollar AS meroket.
Baca Juga: 6 Pendapatan Pasif Terbaik di Tahun 2025 ala Robert Kiyosaki, Bitcoin Tak Termasuk
Sementara, kondisi likuiditas interal untuk jangka pendek, Samuel perkirakan masih akan relatif ketat, karena pemulihan ekonomi yang belum sesuai harapan. Hal ini terlihat dari rasio LDR perbankan yang masih cukup tinggi.
Namun ke depan, terdapat peluang perbaikan situasi likuiditas secara bertahap melalui perbaikan daya beli konsumen yang didorong kebijakan pemerintah yang suportif dan penerapan kebijakan DHE yang baru. Penerbitan SRBI yang terus dikurangi secara bertahap juga akan berdampak positif pada kondisi likuiditas domestik.
Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian saat ini, Samuel melihat sektor konsumer memiliki kualitas bisnis dan volatilitas kinerja laba yang relatif baik dan memiliki risiko yang lebih rendah terhadap kemungkinan negative surprise ke depannya.
Kebijakan pemerintah yang lebih pro akan pemulihan daya beli masyarakat umum juga diharapkan akan berdampak positif pada outlook penjualan emiten di sektor konsumer.
Selain itu, sektor perbankan saat ini diperdagangkan di valuasi yang lebih menarik setelah koreksi harga saham yang dipicu aksi jual dari investor asing. Situasi likuiditas yang relatif ketat saat ini akan diperkirakan akan berangsur membaik ke depannya.
Adapun tekanan jual dari pemegang saham asing kemungkinan besar akan berkurang atau bahkan berbalik arah jika The Fed mengambil kebijakan suku bunga yang lebih dovish di semester kedua nanti.
Selanjutnya: Tripar Multivision Plus (RAAM) akan Buka Bioskop Platinum Cineplex di Eastvara Mall
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News