MOMSMONEY.ID -Bagi sebagian masyarakat di negeri ini, berinvestasi di properti masih menjadi pilihan utama. Mereka menilai berinvestasi di properti adalah salah satu cara terbaik membiakkan uang. Investasi properti dianggap lebih aman dibandingkan instrumen investasi lainnya.
Mengapa? Properti merupakan investasi yang riil, karena ada produknya. Dengan begitu, investor bisa menjaga aset kekayaannya itu sendiri dengan baik, tanpa campur tangan pihak lain.
Lazimnya, investasi di properti berbentuk toko, tempat tinggal, tanah, hotel, dan bentuk aset properti lainnya. Kebanyakan produk investasi lain banyak dipengaruhi faktor eksternal atau luar.
Baca Juga: Ingin beli hunian di luar negeri, ini yang harus dipertimbangkan
Contohnya saham. Harga-harga di bursa saham bisa naik turun dengan cepat bahkan signifikan karena dipicu isu seputar politik, kebijakan pemerintah, keamanan negara, kondisi ekonomi, atau seperti obligasi yang harganya turun saat angka inflasi dan suku bunga merangkak naik.
Memang, harga properti juga bisa terpengaruh faktor eksternal. Namun, perubahannya tidak terlalu cepat. Harga rumah tentu tidak bisa berubah begitu saja dalam sehari, butuh waktu tahunan.
"Investasi di properti Anda bisa menguasai atau mengelola sendiri investasinya. Anda bisa mengendalikan hampir semuanya," kata Mike Rini, perencana keuangan dari MRE Financial & Business Advisory.
Bukan itu saja. Menurut Mike, satu hal yang paling menarik dari investasi di properti adalah Anda dimungkinkan memakai uang orang lain untuk membiayai investasi properti.
Baca Juga: Menumpuk Harta agar Masa Depan Anak Berharga
Nah, kata Mike, ini adalah salah satu konsep terpenting yang membuat properti bisa menjadikan Anda bisa meraih kekayaan dibandingkan investasi lainnya.
Pada jenis investasi lain, jumlah investasi sangat ditentukan dari seberapa banyak Anda bersedia dan mampu membayarnya dengan tunai.
Jadi untuk membeli investasi lain, Anda barus membayarnya tunai dengan asumsi memakai uang Anda sendiri.
Ambil contoh investasi di pasar modal. Untuk membeli saham, maka Anda harus membayar tunai seluruhnya dari kesuluruhan transaksinya. Kecuali, Anda melakukan margin trading yang sebenarnya sangat berisiko.
Begitu juga investasi di obligasi, reksadana, deposito dan tabungan di bank, emas dan barang koleksi yang bernilai seni. Semua mensyaratkan pembayaran tunai seluruhnya.
Berlipat Ganda
Berbeda dengan investasi di properti. Untuk bisa memiliki barangnya, Anda bisa membayar uang muka minimal, bervariasi 10%-30% dari harga properti tersebut. Sedangkan sisanya bisa dibiayai dari pinjaman bank.
Jangankan bank, bahkan pengembangnya pun bersedia memberikan keringanan pembayaran cicilan untuk pembayaran uang muka pembelian produk (aset properti).
Kesempatan menggunakan uang orang lain ini disebut dengan istilah leverage atau kemampuan dalam melipatgandakan sesuatu. Contoh, Anda memiliki uang tunai Rp 30 juta. Kalau Anda mendepositokan uang itu di bank, paling-paling Anda cuma mendapat bunga 4%-6%% setahun.
Baca Juga: Kiat Merencanakan dan Menghitung Biaya Pendidikan Anak di Luar Negeri
Beda kalau Anda pakai uang itu untuk membayar uang muka rumah seharga Rp 100 juta. Kekurangan pembelian (Rp 70 juta) Anda biayai dengan memanfaatkan Kredit Pembelian Rumah (KPR) dari bank.
Bunga KPR yang harus Anda bayar saat ini bisa sekitar 10% per tahun. Setelah setahun, kalau Anda tepat memilih lokasi, kemungkinan harga rumah Anda naik 10% (menjadi Rp 110 juta) masih sangat masuk akal.
Jika saat itu Anda menjualnya, Anda akan mendapat uang tunai Rp 110 juta. Dari uang itu Anda harus menyisihkan Rp 70 juta untuk membayar pokok utang dan Rp 7 juta sebagai bunga.
Masih tersisa Rp 33 juta. Setelah dikurangi modal (uang muka) Rp 30 juta, sisanya sebanyak Rp 3 juta adalah laba Anda.
Baca Juga: Cermati Mengatur Keuangan untuk Pasangan Baru Menikah
Tentu saja ilustrasi di atas terlalu disederhanakan. Kenyataannya, pengajuan KPR dan melunasinya lebih awal tak semudah itu.
Tapi, semoga gambaran tersebut bisa menunjukkan bahwa investasi properti memang memiliki keunggulan khas, termasuk leveraging dengan memanfaatkan KPR.
Risza Bambang, perencana keuangan dari Shildt Financial Planning, menunjukkan bahwa Anda tak hanya bisa mendapatkan potensi capital gain atau keuntungan dari kenaikan harga, tapi juga fix income atau pendapatan tetap dari properti Anda, misalnya dengan cara menyewakannya.
Keuntungan semacam itu tak bisa Anda temu ketika mendepositokan uang. Anda memang mendapatkan bunga, tapi Anda tak memperoleh capital gain.
Nilai deposito Anda tak meningkat menjadi lebih tinggi kalau tak memperhitungkan bunga.
"Kalau bunga terus diambil, dana pokok investasi tidak berkembang. Jadi, investasi di deposito tidak bisa memberikan dua keuntungan. Dia hanya bisa memberikan fix income bagi investor," kata Risza.
Butuh modal besar
Sayang, kata Risza Bambang, kebanyakan masyarakat masih ragu-ragu berinvestasi di properti. Ada beberapa faktor penyebabnya. Banyak orang menilai berinvestasi di properti membutuhkan modal besar.
Selain itu, investasi di properti tak likuid atau sulit dijual dengan cepat. Berinvestasi di properti juga repot karena harus melakukan banyak deal dengan sejumlah pihak: pihak penjual, tukang bangunan, mandor, arsitek, pemerintah provinsi, dan berbagai pihak lain.
"Tapi, buat investor, satu-satunya cara mengembangkan investasi adalah properti. Investasi properti bisa melipatgandakan aset. Dari punya satu aset, bisa berkembang hingga jumlah tidak terhingga," papar Risza.
Baca Juga: Harga Emas Diproyeksi Stagnan, Perbesar Porsi Investasi di Instrumen Lain
Menggiurkan, memang. Walau demikian, jangan sampai Anda terperosok karena salah langkah. Ingat, setiap investasi selalu berbalut risiko selain memberi keuntungan.
Eko Endarto, perencana keuangan dari Finansia Consulting, menilai, salah satu risiko berinvestasi di properti adalah likuiditas.
Banyak orang salah beranggapan investasi properti ditujukan untuk kebutuhan jangka pendek. Padahal, investasi properti harus jangka panjang, minimal 10 tahun.
Baca Juga: Perlukah Ikut Program Dana Pensiun di Luar Kantor? Ini Jawabannya
Meski demikian, menurut Eko, likuiditas properti tetap rendah ketimbang emas, misalnya.
"Memang relatif lebih sulit menjual properti dibandingkan instrumen lain," tutur Eko.
Risiko lain adalah adanya biaya yang harus dikeluarkan, seperti biaya administrasi, bunga (KPR), biaya sertifikat, serta pajak bumi dan bangunan.
Selain itu investasi properti juga rentan dengan kasus sengketa karena kerap terjadi sertifikat ganda.
"Kebijakan pemerintah bisa mempengaruhi investasi properti. Contoh, jika ada perubahan peraturan pemerintah, rumah atau tanah Anda bisa digusur," kata Eko.
Selanjutnya: Kiat Membangun Bisnis Properti dengan Modal Terbatas
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News